82. "Lo salah pilih lawan, Ivan,"

6.8K 852 223
                                    

Makasih banyak untuk kata-kata baiknya di chappie kemarin. Kalian tuh so sweet 🤧🤧😭😭 Huaaa. Ingetin buat gak boleh baper.

Rangkulan, bestie.

Selamat menikmati :)

*****

"Kayu sama tali aman?"

"Aman. Tali di tangan dan kayu di belakang kursi."

"Bagus. Jangan lupa pukul bagian kepa--Sialan!"

Kembali ke gudang bekas tak terurus di dekat pantai, rantai bisikan kedua wanita hamil tersebut harus terputus ketika mendengar suara kunci yang hendak dibuka. Zelina kembali menyelipkan layar kotak kecil miliknya ke sepatu, lalu kedua tangan mereka buru-buru disimpan ke belakang lagi.

Tali yang sebelumnya membelenggu sengaja digenggam agar bisa menutupi pergelangan tangan, kesannya seolah masih diikat. Meskipun sudah punya rencana, jantung mereka masih berdegup kencang karena harus menghadapi psikopat pelaku penculikan sebentar lagi.

Zelina dan Kirana kini harus mengeksekusi rencana paling sulit, yaitu....

Bertahan hidup dan meloloskan diri.

Mereka tidak bisa hanya diam dan duduk manis menunggu para lelaki datang karena ... jika si 'Pemanen' atau siapapun itu sudah sampai, maka tamatlah riwayat keduanya dibantai habis-habisan.

Pintu gudang tersebut akhirnya terbuka, menampilkan seorang lelaki kurus lagi dengan senyuman misterius menyeramkan di wajahnya. Satu kesimpulan baik yang dapat diambil di sini; nampaknya, si Pemanen memang belum datang karena Ivan kembali sendiri.

"Well, bagaimana? Nyaman di sini?" tanyanya retoris.

Kirana memberenggut, entah hanya pura-pura atau takut betulan sementara Zelina memutar bola mata. Malas menjawab.

"Dasar tamu tidak sopan," cibir Ivan. "Padahal niatku baik. Aku akan membiarkan kalian menghubungi keluarga kalian sebelum dieksekusi sambil menunggu si Pemanen.... Oh! Aku punya ide yang lebih baik!" Ivan menyeringai.

"Bukankah seru jika keluarga kalian melihat langsung prosesnya? Mereka hanya bisa menangis tak berdaya di rumah sementara kalian ... menjerit kesakitan saat organ kalian dipanen satu persatu di sini."

"Bangsat! Diem, lo!" Zelina menatapnya nyalang. "Lo cuma banci yang bisanya lawan cewek gak berdaya! Lo takut cari lawan sebanding, hah? Sampe nyulik dua bumil aja perlu dua preman. Dasar lemah!"

"Kita liat siapa yang lemah saat pisau nanti membelah tubuhmu, Zel," ujar Ivan tak acuh. Tangannya tidak tinggal diam. Sesuai dengan perkataannya, ia berniat membuat keluarga korbannya tahu. Masa bodoh jika dilacak. Lagipula, sudah terlambat jika akan ada yang datang. Posisi mereka yang berada di pantai selatan setidaknya memerlukan beberapa jam untuk dicapai dengan kendaraan roda dua dan empat. Kantor polisi juga tidak ada yang dekat dari sini. Mereka dapat kabur dengan mulus sebelum ada yang datang.

Ya..., setidaknya, itulah yang Ivan pikirkan.

Dia belum tahu apa yang akan mendatanginya.

Di kediaman Narendra, ponsel Surya tiba-tiba bergetar. Nama pemiliknya merupakan orang yang sudah lama tidak berurusan lagi dengannya.

"Siapa, Pa?" tanya Widya.

"Ivan, Ma."

"Ivan.... Mau apa anak si pengkhianat itu menghubungi kita lagi?!"

"Tidak tahu. Papa coba angkat dulu."

Tepat ketika menyentuh ikon terima, tubuh Surya menegang. Di layarnya, kini terpampang Zelina dan Kirana dengan keadaan yang cukup mengenaskan. Pipi memar, mata sembab, dan penampilan yang berantakkan seolah menjadi bukti dari beratnya peristiwa yang mereka sudah lalui dalan beberapa jam ke belakang.

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang