32. "Tunggu bentar!"

4.7K 664 58
                                    

Sebelumnya, saya mau kasih tau saja, nih. Kalian dominan memilih kisah Elaina (penggantiku bagimu) saat voting. Saya, sih, oke-oke saja. Tinggal eksekusi. Tapi, saya hanya ingin memperingatkan. Kisah Elaina ini gak ringan. Sedih. Gelap. Humornya gak banyak.

Sad end/ happy end? Itu tergantung sudut pandang. Bahagia menurut kalian belum tentu bahagia menurut orang lain.

Selamat menikmati :)

*****

"Kok, pagi banget udah siap? Mau sarapan dulu?"

"Tidak sempat. Ada hal penting yang saya harus urus."

"Tunggu bentar!"

Buru-buru, Zelina berlari ke dapur untuk menyiapkan bekal. Padahal, jam baru menunjukkan pukul 5.30, tapi Damian sudah siap dengan kemeja dan celana bahannya. Aneh sekali. Biasanya, setelah ibadah subuh, Damian akan berolahraga dulu atau sekadar bersantai di kasur sampai pukul 6. Barulah Zelina akan membuat sarapan sementara Damian mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Biasanya, Damian masuk jam 8 pagi jika tidak dinas malam.

Tepat ketika Damian keluar dari kamar mereka, Zelina baru saja selesai membuat teh melati panas di botol minum alumunium dan hendak memasukkan roti selai kacang beserta beberapa bungkus oat bar ke dalam kotak makan plastik. "Tunggu bentar, Dam!" seru Zelina sambil menutup wadah itu secepat mungkin. Namun, sayang, suaminya tidak mendengar. Dengan terburu-buru, pria itu justru keluar rumah tanpa mengacuhkan istrinya sama sekali.

Zelina hendak mengejar Damian ketika pintu utama tertutup. Namun, nahas. Botol alumunium yang belum sempat ditutup malah tersenggol dan jatuh. Teh panas di dalamnya tumpah hingga mengenai kakinya yang malang. Di saat itu juga, suara mobil Damian yang meninggalkan rumah terdengar.

Mata wanita itu pun memanas. Zelina meringis dan menggigit bibir bawahnya keras. Tangannya mencengkram meja dapur, mencoba mengalihkan rasa sakit yang ia rasakan. Sudah dipastikan kakinya akan melepuh karena air panas tadi mendidih dari teko listrik, tetapi mengapa dadanya yang justru terasa lebih sakit?

Pagi itu, untuk pertama kalinya, Zelina menangis karena pria yang ia cintai, pria yang ia pikir tidak akan pernah menyakitinya.

*****

"Makan yang banyak. Biar kalian cepet besar." Zelina mengelus bulu anabulnya dengan sayang. Matanya masih sembab karena menangis sepanjang pagi. Kakinya masih terlihat merah marah, lecet, serta melepuh meskipun Zelina sudah membasuhnya dengan air mengalir dan mengoleskan salep luka bakar. Apa ia juga harus menutup lukanya dengan perban seperti saat Damian dulu mengobati tangannya yang terkena Zuppa Soup?

"Abu, suatu hari nanti, kalau kamu udah besar dan nikah sama Si Oyen, jangan sampai buat dia sedih, ya? Kalau buat anak yang banyak gak apa-apa. Nanti kita ternak ragdoll.... Eh, gak jadi, deh. Kasian juga kalau harus dipisahin sama anaknya buat dijual. Aku aja ilang satu anak udah sedih banget." Layaknya orang hilang akal, ia terus berbicara pada dua gembolan berbulu berusia 3 bulan itu dengan penuh afeksi, menasihati kucing-kucing kecilnya mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam sebuah hubungan.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Namun, Zelina masih tidak beranjak dari karpet berbulu di ruang tengah. Anabul-anabulnya sudah tertidur pulas sambil meringkuk di sebelahnya.

"Hifza...." Zelina kembali berbicara sendiri sambil menatap langit-langit rumah. "Kamu pasti tau, kan, kenapa papamu berubah sama Mama? Kamu bisa liat semuanya dengan jelas di atas sana," ujarnya lirih. "Tolong, bantu Mama untuk mengerti papa kamu. Dia ... membuat Mama merasa gak berguna. Apa dia mulai lelah hadapin Mama, ya? Sumpah. Mama lagi berusaha keras untuk kembali seperti semula. Mama sedang berproses. Kamu juga liat usaha Mama, kan?"

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang