48. "Apa ... itu salah, Ma?"

6.1K 704 42
                                    

Hai. Selamat hari Minggu.

Anu, mau tanya. Kalau Zelian mau berhenti di s2 aja atau mau diadain s3? Ahhahahah. Kayak sinetron Indo emang pikiran saya 😭🙈😂 ending s2 di kepala saya bercabang soalnya wkwkw.

Jangan lupa ramaikan vote dan komen 😎

Selamat menikmati :)

******

Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tak terasa, Khaira telah kembali ke rumah mereka. Zelina yang sedang menikmati low season merasa senang sekali dapat menghabiskan lebih banyak waktu dengan bayi mungil itu. Bahkan, ia juga tidak ragu membawa main Khaira ke rumah mamanya. Bayi yang berumur satu bulan lebih itu terlihat mulai berisi dan menggemaskan.

"Kamu seneng ada Khaira?"

"Seneng." Zelina tidak repot menutupi rasa senangnya akan kehadiran Khaira. Bibir yang melengkungkan senyuman pun sudah jadi bukti mutlak mengenai rasa sukanya pada Khaira. Selain itu, penjelasan dari Damian malam itu membuat Zelina lebih paham dan semakin mudah menerima kehadiran bayi kecil ini.

"Anggaplah gue udah berdamai dengan keadaan kita sekarang. Gue hanya mau tau, dari sekian banyaknya temen Eva di rumah sakit...., kenapa lo yang harus tolongin dia?"

"Karena saya banyak berhutang budi pada Eva"

"Hah? Kok, bisa?" Alis Zelina bertaut bingung.

"Kami mengenal satu sama lain semenjak saya mulai diizinkan praktik di rumah sakit. Eva banyak membantu saya. Asal kamu tahu saja, perawat itu jasanya besar sekali baik untuk dokter dan pasien. Banyak hal yang bahkan dokter sebetulnya lupa untuk lakukan karena tugas itu sering diambil alih oleh para perawat. Memasang infus, kateter, dan beberapa alat lainnya. Bahkan, dalam berkomunikasi dengan keluarga pasien pun, sepertinya perawat lebih handal daripada dokter. Apalagi jika dokternya sudah sekelas spesialis atau subspesialis yang sibuk sekali. Apa-apa sering disampaikan melalui perawat."

Zelina mengangguk pelan, mencoba menilik peran Eva di hidup Damian.

"Dulu, saya jauh lebih kaku dari ini." Damian menarik napas dalam. "Jika ada sesuatu yang membuat saya hampir gagal menjadi dokter, itu adalah kemampuan komunikasi saya yang buruk. Eva ... banyak membantu saya di sana."

"Bantu gimana?"

"Bantu menjelaskan kondisi pasien pada keluarganya, membantu menenangkan pasien dan keluarganya, serta membantu membuat mereka percaya pada kemampuan saya." Damian tersenyum setengah hati. "Awal menjadi dokter, banyak yang meragukan kemampuan saya. Tidak jarang, keluarga pasien yang 'vokal' meminta ditangani oleh dokter lain karena saya kalau menjelaskan sesuatu pasti patah-patah dan sulit untuk dimengerti. Bahkan, saking kakunya dulu, saya sering dianggap tidak kompeten. Tidak jarang dianggap tidak mengerti bidang sendiri. Padahal otak saya paham, hanya sulit saja mengkomunikasikannya. Dari kecil, saya memang tidak terlalu suka bicara."

"Oke.... Itu lo dulu. Gue pernah jadi pasien lo dan penjelasan lo jelas banget waktu itu. Gak kaku lagi. Belajar komunikasi dari mana?"

"Dari Eva."

Zelina pun mengangguk, ia mulai paham di mana letak jasa Eva di sini.

"Jika ada waktu senggang, dia aka melatih saya untuk menjelaskan sesuatu. Jika kalimat saya aneh, maka dia akan coba betulkan tanpa menyinggung. Terus menerus begitu sampai saya dapat menjelaskan berbagai hal medis serta kondisi pasien dengan luwes dan meyakinkan. Saya banyak hutang budi padanya, Zel. Jika Eva tidak membantu saya, mungkin saya sudah berhenti jadi dokter dari lama karena terlalu banyak diprotes.

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang