31. "Sudah resiko."

5.2K 677 47
                                    

Yang belum vote, ku masih tunggu yaa. Nanti setelah beberapa hari, chapter cerita baru itu akan ku hapus. Untuk saat ini, cerita Elaina masih memimpin.

Udah pada follow belum? Jangan lupa selalu tinggalkan dukungan dan pesan baik 💙

Selamat menikmati :)

*****

"Ma, udah, ya?"

"Gak! Makan yang banyak!"

"Tapi, Ma--"

"Habisin, Zelin! Tangan kamu udah tinggal tulang begitu."

"Pa?" Zelina menatap Ali, memohon pertolongan.

"Makan, Zel. Mama kamu benar."

Bibir wanita itu pun mengerucut sebal. Tadi, Damian tiba-tiba saja mendapat panggilan cito saat pulang dari supermarket. Bukannya menurunkan Zelina di rumah, pria itu malah menitipkan istrinya di rumah orang tuanya karena lebih dekat dari gerbang kompleks. Zelina bisa apa?

Tadinya, ia ingin kabur saja. Namun, Mama Nina keburu memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Ia sangat merindukan Zelina yang sudah dua minggu mengurung diri di kamar. Rasa khawatirnya bukan main saat melihat betapa ringkihnya Zelina sekarang. Sesuai dengan insting keibuannya, maka hal pertama yang dilakukan adalah menyuruh Zelina makan.

Memaksa lebih tepatnya.

Dan Zelina tidak suka hal ini.

"Zelin kenyang," gerutunya. "Mama sama Papa juga bukannya makan. Malah liatin Zelin mulu."

"Mama sama Papa baru beres makan siang waktu kamu datang," balas Nina tidak mau kalah.

"Kami punya hadiah kalau kamu sudah selesai makan," tambah Ali. Hal itu membuat Zelina mengerutkan alis penasaran.

"Hadiah dalam rangka apa?"

"Dalam rangka ulang taun kamu, lah! Kamu gak inget? Sekarang tanggal 23!"

Zelina hanya menaikkan bahu.

"Ya Allaah! Mas, coba buka kepalanya Si Zelin. Masih muda, kok, pikun."

Zelina menatap Nina sengit dan mendengus sebal. "Gak lucu, Ma!"

"Ulang taun sendiri aja gak inget."

"Siapa juga yang mau ngerayain ulang taun pas kondisi gini? Kuburan anaknya Zelin aja belom kering."

Balasan sengit itu membuat Nina terdiam. Ah, benar juga. Suasana mereka masih dilingkupi duka. Namun, mau sampai kapan? Sampai kapan kematian Hifza memvalidasi kondisi suram di keluarga mereka? Bukankah bayi kecil itu justru sudah bahagia karena tidak perlu merasakan kejamnya dunia?

Untuk beberapa saat, Zelina makan dalam hening. Tidak ada yang berani mengucapkan apa-apa sampai akhirnya, wanita itu meletakkan sendok. Makanan di piringnya masih bersisa sedikit, tetapi itu lebih baik ketimbang tersisa setengahnya.

"Zelin udah kenyang. Gak sanggup makan lagi."

"Ya sudah. Biar Papa bereskan. Zelin minum dulu dan tunggu di sini sama Mama. Papa sekalian ambil hadiahnya."

Ketika pria paruh baya itu pergi, Nina dan Zelina dilingkupi rasa canggung. Sebetulnya, ada rasa penyesalan yang mengganggu benak keduanya. Namun, mereka masih berperang dengan ego masing-masing, menunggu salah satu membuka suara. Akhirnya, Nina yang lebih tua pun mengalah. Mungkin, kata-katanya memang sudah keterlaluan tadi.

"Maafin Mama, Zel. Mama gak maksud buat kamu tersinggung...."

Zelina mendongak, mendapati ekspresi menyesal di wajah mamanya menyayat hati. Jauh di dalam sana, Zelina paham mengapa Nina sampai berkata seperti itu. Mamanya hanya sedih melihat Zelina begitu terpuruk hingga lupa segalanya.

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang