68. "Lo juga gak miskin, Zelina."

4.9K 673 85
                                    

Sebetulnya, komen belum memenuhi target, sih. But it's okay. Some of you did really try so hard and I fully appreciate that 💚

So, thank you.

Oh, dan bagi kalian yang bertanya, "Aduh kapan bahagianya? Ini suram terus! Si Zelin juga sedih mulu. Kapan punya anaknya?!"

Lah, apa kabar sama yang pemeran utama cewek yang dibenci, terus disiksa fisik sama batin tiap hari cuma karena dia berbeda atau karena ibunya meninggal pas ngelahirin dia? 🙂 ada banyak cerita seperti itu. Saya tidak sedang nyindir, hanya membandingkan saja. Cerita seperti itu peminatnya banyak.

anyways, jadi nikmati saja alurnya. Itu tiap bab pasti aja ada adegan yang buat senyum sedikit meskipun sedih. Ini masih aftermath gagal, sih. But. We're slowly getting 'there' hihi. Karena hidup itu berproses. Saya inginnya cerita Zelian membekas di hati kalian, bukan cuma yang memberi pesan bahwa "Oh, iya. Asal usaha keras, semuanya jadi berhasil." No, hidup tidak sesederhana itu.

Uwu 🤧 bacot.

Selamat menikmati :)

*****

"Nte Jelllll!"

"Vanoooo!"

"Hihihi. Gendong?" Elvano merentangkan kedua lengannya.

Dengan senang hati, Zelina pun meraup keponakannya itu dan menggendongnya. Elvano memekik kesenangan. Gigi-gigi putih kecil yang rapih miliknya terlihat karena cengiran yang begitu menular. "Kangen, Nte...." Bocah itu memeluk leher Zelina, membuat hati wanita itu menghangat.

"Tante juga kangen sama Vano." Zelina tersenyum lembut. "Mana kiss-kiss-nya?" Ia menunjukkan pipinya. Tanpa ragu, Elvano pun mendaratkan sebuah kecupan gemas di sana dengan suara, "Mmmmwah," yang begitu lucu. Hal itu dibalas oleh Zelina dengan menghujankan kecupan-kecupan kecil di pipi gembul Elvano, membuat tawa dan seruan menggelegar terdengar seisi rumah.

Di samping mereka, Damian hanya memperhatikan interaksi keduanya dalam diam. Kehangatan yang mendamba begitu memancar dari iris mata terangnya. Sungguh, istrinya sangat cocok menjadi seorang ibu. Ah, andai saja.... Tidak! Damian buru-buru menepis pikiran itu. Sekitar dua jam lalu, ia baru saja bilang pada Zelina bahwa ia tidak apa-apa jika tidak punya anak sampai tua. Ia tak boleh kembali mendambakan kehadiran buah hati. Mereka sudah sepakat untuk istirahat dari program hamil dan menikmati hidup saja.

Mengadopsi anak pun bukan pilihan yang tepat saat ini. Baik Damian maupun Zelina masih berusaha keras untuk ikhlas pada kemungkinan tak memilik buah hati yang mewarisi gen mereka sendiri. Jangan sampai mereka membawa seorang anak tak berdosa hanya untuk menjadi 'pancingan'. Meskipun mereka akan tetap menyayangi anak berbeda DNA itu, tetap saja mereka tak akan bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika sampai tahu bahwa dirinya diadopsi hanya sebagai pancingan untuk orang tua angkatnya memiliki anak sendiri. Itu akan merusak mental anak tersebut dan membuatnya merasa sulit dicintai dengan tulus.

"Kalau sama Om Damian kangen juga, gak?" tanya Zelina tiba-tiba, lantas mengarahkan wajah Elvano ke suaminya.

"Kangen! Om Ian!" seru Elvano senang, sekarang mengarahkan lengannya pada Damian, minta digendong. Dengan sigap, Damian pun mengambil alih balita itu dari lengan istrinya dan tersenyum sumringah.

"Halo, jagoan! Tos dulu?" Ia mengarahkan telapak tangan kanannya pada Elvano sementara lengan kirinya menopang bocah itu.

Plap!

Suara rendah terdegar dari dua telapak tangan yang bertubrukan. "Wah, Vano tambah kuat, ya, sekarang? Lama-lama Om kalah ini," ujar Damian jahil, membuat Elvano mengangguk dan nyengir kegirangan. Sungguh! Keduanya sangat menggemaskan. Layaknya ayah dan anak sungguhan.

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang