7. "Tega, lo."

7.4K 834 32
                                    

Hai.

I need your help!

Mau jujur saja, nih. Adegan pernikahan Damian sama Zelina masih belum saya tulis hahahahaha. Mau bantu saran lagu yang pas buat nikahan modern, dong :')

Yok. Ditunggu bantuannya. Semakin banyak daftar lagu di playlist, semakin enak juga saya dengerin sambil nulisnya wkwkw.

Semakin cepat saya menulis, semakin cepat juga update-nya 👉🏽👈🏽

Jangan lupa dukungannya juga hehe.

Selamat menikmati :)

****

"Kamu yakin mau pulang malam ini? Tidak menunggu besok?"

Zelina mengangguk mantap. "Iya, Dam. Jangan khawatir. Gue gak apa-apa."

"Tapi, saya tidak bisa mengantar kamu. Setengah jam lagi saya ada operasi selanjutnya. Dokter Ali pun tidak bisa. Dia sedang ada operasi dadakan salah satu korban tadi."

"Gue sama Mama bisa pulang pake taksi berdua. Everything's gonna be okay."

"Tapi--"

"Shh.." Zelina menyela, meletakkan jari telunjuk sebelah kanannya di bibir Damian. "Gue baik-baik aja, oke? Lo sendiri udah ngobrol sama dokter yang bertanggung jawab atas gue, kan? Dia membolehkan gue pulang malam ini, Dam. Bahkan, lo juga udah liat hasil rontgen gue. Gak ada yang aneh, kan?"

"Saya tetap khawatir, Zelina. Kamu itu calon istri saya. Bagaimana jika kepalamu tiba-tiba sakit di rumah?"

"Itulah fungsi dari obat yang Mama lagi tebus sekarang, Sayang. Painkiller does pain killing."

"Sayang?"

"Eh--" Pipi Zelina memerah. Apa ia secara tidak sadar sudah memanggil Damian "sayang" tadi? Aduh, mungkin benturan di kepalanya memang tidak seringan penjelasan dokter tadi. "L-Lo mending bantu gue lepas infusan! Ayo! Ngilu juga ini lama-lama."

Sial!

Zelina jadi salah tingkah sendiri.

Damian menggeleng pelan, sebuah senyuman menggoda terbit di wajahnya. "Kita menunggu suster datang saja. Saya masih ingin berlama-lama bersama kamu di sini."

Zelina memincingkan mata. "Tega, lo."

"Eh, tangan saya pegal setelah berjam-jam di ruang operasi..., Sayang."

Mata Zelina membulat. Ia menatap Damian tidak percaya. Oh, laki-laki itu sudah berani menggodanya lagi? Bukankah ia yang beberapa detik lalu sangat mengkhawatirkan kondisi Zelina?

"Apa, sih, sayang-sayang segala?!"

"Eh, kamu yang mulai." Pria 31 tahun itu menatapnya jahil, "Saya hanya meniru kamu..., Sayang."

Sial!

Pipi Zelina semakin merah!

Dasar Damian! Bisa-bisanya dia mengobrak-abrik perasaan Zelina, mempermainkan ritme jantung wanita itu, dan seenaknya meletakkan rona merah di pipinya bahkan ketika ia terluka seperti ini.

"Dasar jail." cibirnya.

"Permisi." Seorang suster berusia 30 tahunan datang. Ia menyapa Zelina dan Damian sambil memasuki ruangan. Dibawanya sebuah wadah menyerupai keranjang dari plastik yang berisi berbagai perlengkapan medis seperti kapas beralkohol, alas perlak, sarung tangan steril, plester, gunting, dan perban. "Nyonya Zelina, kita lepas infusnya dulu, ya." ujarnya ramah.

Zelina hanya mengangguk pelan. Sepanjang prosedur itu, ia hanya diam dan menuruti instruksi dari suster layaknya anak kecil yang sedang belajar huruf alfabet. Jika suster bilang Zelina harus tenang dan jangan banyak bergerak, maka wanita itu mengikutinya tanpa banyak protes. Ajaib sekali. Bahkan Nina tidak pernah bisa membuat Zelina menurut semudah ini.

Zelian 2: Apa yang Kurang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang