🏠 2. Kaifa dan Kehidupannya

5.2K 805 56
                                    

"Bang Mirza! Bang! Bangun! Katanya mau nganter Jeni ke kampus!" Jeni menggedor-gedor pintu kamar Abangnya yang memang sebelahan dengan kamarnya di lantai dua.

Jadi urutannya begini.

Kamar Jovan dekat tangga, di sebelahnya kamar Mirza, lalu Jeni, Jihan, Lilis dan kamar Rosie ada di paling ujung. Awalnya yang di lantai dua itu Jovan dan Leo, tapi Mirza minta tukar kamar supaya bisa mengawasi Jeni lebih dekat. Jenis Abang posesif yang sering diidamkan anak-anak tunggal.

"Ya ampun, Jen, lo ngapain dobrak kamar kosong?"

Jeni menoleh ke bawah anak tangga, Satya dengan kaos tanpa lengan yang memperlihatkan bisep dan rambut acak-acakan adalah kombinasi cuci mata terbaik. Tapi saat ini Jeni tak punya waktu untuk menatap salah satu ciptaan Tuhan paling sempurna itu, dia sudah terlambat maksimal.

"Bang Mirza kemana?" Jeni menuruni anak tangga, dia mengekori Satya memilih melanjutkan tidur di sofa.

"Udah cabut duluan subuh tadi."

"Iya, kemana?"

"Lah, meneketehe. Lo aja adiknya gak tau." jawab Satya tanpa membuka mata.

Jeni merogoh ponselnya, barangkali ada jawaban dari pertanyaannya. Dan benar saja, ternyata Mirza ada bimbingan skripsi. Dosennya baru punya waktu luang di pagi ini, makanya cowok itu berangkat subuh-subuh supaya tidak terjebak macet.

Jeni menghela napas, dia tidak sempat buka ponsel karena setelah siap-siap dia langsung membangunkan Abangnya.

"Tya, anter gue ke kampus yuk. Motor gue masih di kosan dulu, belum sempat bawa." Jeni menggoyangkan pundak Satya kasar.

"Males, ah, Jen. Gue ngantuk parah, baru bisa tidur subuh tadi."

"Siapa suruh main PS mulu."

"Mumpung gue gak ada kelas hari ini." Satya menjauhkan tangan Jeni dari pundaknya, "Sana berangkat sendiri, udah gede juga."

"Gue takut terlambat, Tya."

"Yaelah, Jen, udah berapa kali gue bilang. Jangan panggil gue Tya, kesannya cewek banget tahu."

"Daripada gue panggil Sat, kesannya gue manggil bangsat beneran."

"Ya emang faktanya, Satya adalah bangsat sesungguhnya." celetuk Kai yang baru keluar dari kamarnya.

"Kemana, lo?" Satya yang mencium wangi parfum Kai sontak membuka matanya, melihat Kai sedang memakai kaos kaki di ambang pintu.

"Ke cafe, lah. Ada yang perlu diurus."

"Nah kebetulan, sekalian anter Jeni gih. Gue mau tidur dengan tenang."

Kai menoleh ke belakang, melihat Jeni yang balik menatapnya dengan wajah panik.

"Ogah ah." Kai kembali memakai sepatu, "Nanti yang ada kepala gue ditebas Bang Mirza."

"Gak akan!" Jeni berseru sembari mendekati Kai.

"Plis, Kai, anterin gue. Bang Mirza lagi gak ada, dan gue butuh tebengan sekarang juga." Jeni mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, berharap Kai menangkap kesungguhannya.

"Oke." Kai berdiri, "Tapi gue minta perlindungan dari Bang Mirza. Deal?" Kai menjulurkan tangannya, Jeni menyambut dengan senang hati.

🏠🏠🏠

Oh iya, soal Kai yang ke cafe, ini gak seperti yang kalian pikirkan. Cowok itu datang bukan buat ngafe, bukan juga buat kerja part-time.

Tetapi Kai datang untuk memantau kinerja para staff-nya. Di usianya yang terbilang muda, Kai berhasil menjalankan bisnis café yang diwariskan dari orang tuanya. Keluarga Kai adalah pebisnis tulen, Ibunya punya toko roti yang sering jadi langganan selebriti tanah air. Kakak perempuan pertamanya punya brand pakaian anak yang sudah berekspansi Ke Singapore, Thailand, London sampai Korea. Kakak perempuan keduanya tak kalah sukses, dia punya agensi manajemen yang menaungi banyak artis papan atas tanah air, mulai dari aktor, aktris, DJ hingga penyanyi. Mereka semua sukses di bawah manajemen tersebut.

Indie Kos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang