🏠 37. Sedikit Rindu, Banyak Cemasnya

2.6K 372 180
                                    

"Gausah, biar aku aja." Mirza membawa Mia duduk di kursi meja makan, "Kamu tinggal duduk manis di sini."

"Tapi, kan, aku mau bantu."

"Bantu doa aja, aku ngajak kamu ke kosan bukan buat nyuci piring."

"Terus buat apa dong?"

"Buat pacaran."

Mendadak pipi Mia panas. Selalu seperti ini, dia tak pernah bisa mengendalikan ribuan kupu-kupu yang menggelitiki perutnya. Perasaan asing yang anehnya sangat Mia sukai.

"Hemm, bagus. Pacaran aja terus sampai adiknya dilupakan." keluh Jeni sambil menempati kursi sebelah Mia.

"Kenapa lagi adiknya Abang?" Mirza melirik Jeni sekilas sebelum kembali mencuci piring, meneruskan pekerjaan Mia.

"Jeni tuh cemburu kalo Abang pacaran di kosan, pasti Jeni selalu dinomor duakan."

"Kamu, kan, tahu sendiri Kak Mia nggak bisa sembarangan keluar."

"Ribet banget sih pacaran sama artis."

"Udah jangan bawel, Abang lagi nyuci piring."

Mia mengacak gemas puncak kepala Jeni, dia tidak tersinggung sama sekali. Gadis itu justru setuju dengan semua kalimat Jeni.

Sejak resmi pacaran, Mia memang lebih sering menghabiskan waktu luangnya di Indie Kos. Karena hanya di sini Mia bisa menikmati waktu tanpa rasa sepi, dia bisa mencoba resep baru bersama Jeni, mencoba trend make up bersama Jihan, nonton drama bareng Rosie, atau bahkan sekadar makan seblak buatan Bilal.

Semua terasa lebih baik daripada menghabiskan waktu di rumah atau lokasi syuting. Lagipula Mia kurang suka dengan orang-orang di lokasi syuting, kebanyakan mereka bermuka dua, berteman hanya untuk panjat sosial.

Wajar saja jika Jeni merasa terancam dengan kehadiran Mia, Mirza yang biasa memanjakan adiknya tiba-tiba harus membagi perhatian pada perempuan istimewa lainnya.

"Kayaknya udah waktunya kita go public, deh." celetuk Mia berhasil membuat Kakak beradik itu menoleh serentak.

"Jangan bilang Kak Mia marah gara-gara omongan Jeni tadi?" Jeni memeluk Mia dari samping, "Jeni minta maaf, Kak."

Mia terkekeh geli, "Bukan kok, Kakak emang udah dari dulu mikirin ini."

"Kamu nggak salah ngomong?" Mirza sudah tak tertarik membersihkan wastafel, dia menarik kursi di depan Mia lalu memperhatikan pacarnya lekat.

Gadis itu menggelengkan kepala, "Jujur aku udah capek banget di industri ini, dikit-dikit dijodohin sama lawan main, dikit-dikit difitnah karena wartawan bikin artikel yang buat orang lain salah paham." Mia membalas tatapan Jeni dan Mirza bergantian, "Lagipula jadi artis bukan keinginan aku."

"Terus gimana sama karir kamu?"

"Kalo emang udah waktunya hancur, aku ikhlas. Apalagi hutang orang tua aku udah lunas, terus aku juga udah nyiapin dana darurat seandainya dikeluarin dari management."

Mirza hanya bisa menatap gadis di hadapannya, tanpa kata. Dia tak menduga jika Mia sudah mempersiapkan semua sematang ini sendiri.

"Kedepannya rencana Kak Mia apa?" tanya Jeni mewakili isi kepala Mirza.

"Buka toko bunga, dari kecil Kakak punya cita-cita punya usaha dari hobi."

Jeni hampir lupa fakta itu, saking sukanya dengan tanaman hias, Mia sampai mendekor taman belakang kosan bersama Abangnya. Hal sederhana yang pasangan itu lakukan setiap malam minggu.

"Aku dukung apapun keputusan kamu." ucap Mirza, dia bersuara setelah mencerna baik kata-kata Mia.

"Termasuk publish hubungan kita?"

Indie Kos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang