"Gimana keadaan, Pio?"
"Tenang aja, Pio cuma sariawan. Saya curiga dia sering gigit-gigit serangga di luar pengawasan Mbak."
Mia memperhatikan pergerakan Mirza saat memberikan obat yang dibawa cowok itu dari rumah penampungan, walau Pio—kucing jantan yang Mia adopsi— sempat memberontak, namun Mirza berhasil menenangkan kucing itu.
Mia mengusap matanya yang sempat berair, dia panik setengah mati kala melihat Pio berubah pendiam dalam tiga hari padahal hewan berbulu itu termasuk aktif. Ditambah suhu badannya tinggi, mulutnya kering, dan mengeluarkan bau yang tak sedap. Pikirannya makin kalut waktu Pio mencari tempat gelap, karena menurut artikel yang pernah Mia baca, kucing akan mencari tempat bersembunyi jika sudah mendekati ajal. Sebab mereka tak ingin majikannya sedih melihat kepergian mereka.
"Gausah sedih Mbak, Pio udah saya kasih antibiotik. Paling nanti setelah dia bangun, jangan lupa dikasih obat-obat yang saya jelasin tadi."
"Iya, thanks ya." Mia bangkit dari posisi jongkoknya, "Saya mau bikin minum dulu, Masnya langsung ke ruang tengah aja kalo udah beres." ucapnya lalu meninggalkan Mirza yang tengah merapihkan barang bawaannya.
Mirza jadi ingat, malam kemarin Mia menelponnya tengah malam. Gadis itu menangisi kondisi kucingnya yang makin mengkhawatirkan. Wajar, sih, karena orang-orang awam yang baru memelihara kucing akan panik melihat hewan peliharaannya sakit. Padahal setelah dicek, tak ada hal serius yang perlu ditangisi.
Dan jadilah Mirza di sini, di ruang tengah rumah Mia setelah membereskan barang-barangnya. Karena mulai bosen, Mirza mengelilingi ruang tengah itu untuk melihat satu per satu barang dan foto yang ada di sana.
Layaknya rumah pada umumnya, ada sebuah foto keluarga besar di tengah ruangan. Lalu di meja-meja dekat televisi, ada foto-foto perkembangan Mia dari kecil sampai remaja. Mirza yakin gadis itu adalah Mia, karena dilihat dari foto keluarga, sepertinya Mia anak tunggal.
Kemudian di sisi lain ruangan, terdapat lemari kaca dimana terdapat banyak piala dan piagam di dalamnya. Setelah ditelaah lebih dekat, ternyata piala dan piagam itu berasal dari penghargaan film.
"Mas lagi ngapain di situ?"
Mirza membalikkan badan, ternyata Mia baru datang dengan dua gelas es teh dan irisan buah lemon di sisi gelas.
"Hehe, maaf ya Mbak, saya lihat-lihat isi ruangan nggak izin dulu."
Mia hanya tersenyum lalu meminum es teh lemonnya dengan anggun, membuat Mirza ingat tulisan di salah satu piala dalam lemari;
'Pemeran Utama Wanita Terbaik 2021'
Apakah sekarang cewek itu sedang berlakon?
"Mbak Mia beneran artis, ya?" tanya Mirza yang tak kuat menahan rasa penasarannya.
Tapi yang ditanya malah tersenyum, "Pantesan Masnya nggak kaget waktu saya datang ke rumah penampungan sendiri."
"Saya kurang begitu suka nonton, Mbak, jadi nggak tau kalo Mbak Mia ternyata artis."
"Tapi saya lebih suka Mas Mirza gak tau pekerjaan saya, sih."
"Kenapa?"
Jelas Mirza bertanya, karena sangat amat jarang ada artis yang tak mau identitasnya terbongkar. Bukankah biasanya mereka justru suka saat orang lain mengenali mereka?
"Karena Mas Mirza satu-satunya orang yang memperlakukan saya sebagai orang biasa pada umumnya, bukan sebagai artis." Mia tersenyum kecil, "Mas Mirza mau, kan, lupakan status pekerjaan saya?"
Mirza terdiam, dia menatap mata Mia dalam. Sorot mata gadis itu sarat akan kesedihan dan ... kesepian.
"Mbak Mia mau nggak jadi teman saya?" tiba-tiba pertanyaan itu meluncur tanpa bisa ditahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indie Kos
General FictionDulunya Indie Kos adalah kosan khusus cowok, tapi sejak Mirza minta Ibu kos terima adik perempuannya bersama teman-temannya ngekos di sana. Indie Kos pun berubah jadi kosan campuran. Kabar baik itu disambut antusias oleh para penghuni cowok. Rocelin...