🏠 53. Happy Ending?

2.1K 307 138
                                    

Bilal mengucek mata mencoba mengumpulkan kesadaran setelah terbangun oleh suara berisik dari dapur. Cowok itu sedikit terkejut melihat teman-temannya sibuk di jam lima pagi.

"Lagi pada ngapain, sih?" pertanyaan Bilal menyita semua atensi teman-temannya, Leo langsung menuntun Bilal duduk di salah satu kursi.

"Duduk, Lal. Gue masak makanan kesukaan lo." ujar Dion sembari menaruh semangkuk besar sop sapi buatannya.

Bilal mengernyitkan alis bingung, "Tumben kalian udah bangun jam segini." lalu menatap Kai dan Chandra yang masih menguap menahan kantuk.

"Gapapa pengen aja, lagipula hari ini sarapan terakhir kita sebelum lo flight ke London." jawab Kenzo santai.

Hal itu justru membuat Bilal kembali teringat jadwal penerbangannya, cowok itu menggeleng keras ketika perasaan sedih kembali menghampiri.

"Emang pada bisa nganter gue?"

"Bisalah! Pokoknya nggak ada yang nggak ikut." Jeni bersuara, dia menutup kotak bekal berisi kue bolu yang dibuat sejak subuh tadi, "Nih, gue bikinin bolu. Lumayan buat nyemil selama di pesawat."

"Thanks, Jen." Bilal menerima dengan senang.

Kemudian semua penghuni Indie Kos mulai menyantap sarapan mereka, Kai sampai harus disuapi Jeni. Sedangkan Chandra langsung melek setelah Lilis menendang keras kakinya.

Sarapan di Indie Kos memang tidak pernah bisa tenang, selalu ada perdebatan yang tercipta. Bahkan masalah se-sepele tidak ada sambal di meja pun mereka perdebatkan. Namun walau berisik dan terkadang menyebalkan, Bilal tak bisa menampik jika perdebatan kecil seperti ini yang akan dia rindukan dari Indie Kos.

Setelah selesai makan, mereka bersiap mandi untuk mengantar Bilal ke bandara. Setibanya di sana, mereka langsung jadi pusat perhatian karena penampilan mereka bak selebgram yang hendak stay cation ke Bali. Padahal mereka hanya ingin mengantar kepergian satu orang.

"Gak usah, Lal. Biar gue yang bawain." larang Chandra begitu Bilal ingin menurunkan kopernya dari bagasi mobil.

"Seriusan?"

"Yoi, hari ini lo cukup duduk manis. Nikmati momen-momen terakhir lo di Indonesia."

"Perasaan gue mau ke London doang, tapi berasa detik-detik terakhir hidup di dunia."

Rosie sempat terkekeh mendengar celetukkan Bilal, dia pun menarik Bilal supaya mereka segera memasuki gate penerbangan ke London.

"Bunda nggak ikut nganter, Kang?" tanya gadis itu setelah menyadari absennya kehadiran orang tua Bilal.

"Bunda sama Ayah duluan ke sana, ngurusin tempat tinggal sekalian business trip. Sebenarnya penerbangan gue ini dipercepat karena harus ngurusin beberapa berkas beasiswa."

Rosie dan teman-temannya yang ikut mendengarkan kompak mengangguk paham. Setelah berjalan cukup jauh—— karena gate Bilal ada di ujung—— mereka pun berhenti di tempat tunggu.

Bilal membalikkan badan, menatap semua temannya dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Dia berusaha semaksimal mungkin untuk menutupi kesedihannya, lalu Bilal melangkah memeluk temannya satu per satu.

Mulai dari Leo, Jovan, Mirza, Jeni, Kai, Satya, Lilis, Chandra, Rosie, Dion, Kenzo, dan terakhir Jihan. Sebagai yang terlemah, Rosie tak bisa menahan derai air matanya sejak Bilal melepas pelukan. Jeni dan Jihan pun demikian, sedangkan Lilis langsung menyeka sudut matanya agar tetap terlihat tegar. Dia hanya tak ingin menambah beban untuk Bilal.

"Gue pamit, ya. Kalian yang akur di kosan, jangan banyak berantem biar gue juga tenang ninggalinnya."

"Tenang aja, bro. Kita nggak bakal bikin lo kepikiran di sana." ujar Chandra sembari mengusap pundak Rosie, menenangkan gadisnya.

Indie Kos Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang