Mirza baru selesai konsultasi skripsi via online ketika Jeni membuka pintu kamarnya, adiknya itu masuk dengan wajah cemberut.
"Abang, lagi sibuk nggak?"
"Tadi lagi zoom meeting, sih, tapi udah selesai. Ada apa?"
"Jeni mau curhat."
Mirza paham betul Jeni itu bukan termasuk orang yang mudah bercerita, apalagi tentang dirinya. Jeni lebih sering menyelesaikan masalah sendiri daripada merepotkan orang lain.
Maka dari itu, Mirza langsung membawa adiknya duduk di pinggir kasur. Karena itu artinya Jeni benar-benar kelimpungan dalam menghadapi masalahnya.
"Jadi kenapa? Kamu tumben banget curhat sama Abang gini."
"Soalnya Jeni mau minta pendapat Abang yang udah berpengalaman."
"Soal?"
"Hati." Jeni memberi jeda sebelum memberanikan diri cerita, "Kalo Jeni nggak suka lihat seseorang bareng cewek lain, itu tandanya apa?"
"Cemburulah, apalagi coba."
"Tapi bisa aja, kan, karena nggak mau tersingkirkan orang lain?"
"Balik lagi, kamu nggak rela lihat dia sama yang lain atau karena takut dia lupain kamu?"
"Dua-duanya." Jeni membaringkan tubuh sembari menutup wajah dengan kedua tangan, "Masalahnya kenapa harus Bang Kai coba." lirihnya frustasi.
Rasa cemburu dan takut kehilangan begitu menghantui Jeni sejak sosok Intan hadir di depannya. Dia bahkan tidak bisa mengontrol perasaannya yang semakin tak karuan.
"Maksudnya orang yang dimaksud tuh Kai?"
Jeni mengintip raut wajah Abangnya dari sela-sela jari yang menutupi muka, "Iya."
Tanpa sadar Mirza berdecih sambil memalingkan wajah, "Abang udah duga kamu bakal luluh juga akhirnya."
"Terus Jeni harus gimana, Bang? Jujur Jeni nggak bisa ngontrol perasaan sendiri."
Mirza menarik kedua tangan yang menutupi wajah Jeni, dia menarik Jeni untuk duduk kembali, "Kalo kamu udah yakin sama perasaan kamu sendiri, terima dia. Abang nggak bakal larang kamu walau harus Kai orangnya."
"Abang serius?"
Mirza mengangguk menenangkan, "Abang pernah lihat cara Kai nge-treat Ibu dan Kakak-Kakaknya, Abang yakin dia juga bakal nge-treat kamu se-istimewa mereka."
Jeni tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk Abangnya, Mirza balas mengusap lembut puncak kepala Jeni.
"Emang harusnya dari dulu Jeni lebih terbuka sama Abang, maafin Jeni ya."
"It's okay, Abang selalu pengen yang terbaik buat kamu. Jadi kalo ada apa-apa bilang ke Abang, termasuk kalo Kai sampe nyakitin kamu."
Jeni melepas peluk sambil tertawa geli, gadis itu menyeka sudut matanya yang sedikit berair, "Sebelum Abang ngasih dia pelajaran, kayaknya Jeni duluan yang bertindak."
"Yaudah gih, daripada sedih-sedihan mending ambil es krim kotak di kulkas. Kita makan bareng."
Jeni pun bangkit sembari memberi gerakan hormat di pelipis, dia bergegas turun ke dapur. Namun langkahnya melambat ketika melihat Kai duduk sendiri di meja makan.
Kai melirik Jeni yang baru masuk dapur dengan senyum samar, gadis itu membuka kulkas tanpa menoleh sedikitpun padanya. Seolah keberadaan Kai tak terlihat, dan itu terjadi sejak Jeni memberi kotak pemberian Intan kemarin.
Kai akui, dia menikmati cara Jeni cemburu. Ternyata pribadi tegas seperti Jeni bisa cemburu layaknya perempuan lain.
"Jen, nitip air dingin dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indie Kos
General FictionDulunya Indie Kos adalah kosan khusus cowok, tapi sejak Mirza minta Ibu kos terima adik perempuannya bersama teman-temannya ngekos di sana. Indie Kos pun berubah jadi kosan campuran. Kabar baik itu disambut antusias oleh para penghuni cowok. Rocelin...