28. Break Even 💍

5.4K 481 158
                                    

💕Happy-Reading💕

.

.

.

Pendar berjuta voltase membelah langit malam diiringi gelegar membahana. Hujan yang turun diselingi kilat petir semakin deras begitu Adya keluar dari kawasan esktrem yang tertutup tebing karst. Beruntung baginya, sebab sambaran cahaya disertai guyuran air hujan sukses menginterferensi pantulan lampu mobil pada pembatas berlapis cat fosfor sebagai penanda antara jalan dan jurang. Melalui kawasan tersebut tanpa penerangan yang memadai tak ubahnya menggadaikan nyawa pada maut.

Bayang-bayang gelap dari pepohonan Ara sesekali tersingkap saat kilat menyapu angkasa. Adya merapal doa dalam hati tiap kali insting dan intuisinya beradu saat ia membanting setir di tikungan tajam. Perasaannya baru lega ketika keluar dari badan gunung.

Adya lekas meningkatkan kelajuan begitu tiba di kawasan proyek. Saat hampir memasuki derah Taman Nasional, Adya meningkatkan kelajuan. Dahinya mengernyit begitu melihat batu gamping yang familier di beberapa meter ke depan. Sedetik kemudian Adya tersadar dan membanting penuh setir ke kiri, tepat sebelum ban depan mobilnya menubruk papan peringatan dari perbaikan jembatan penghubung.

Sejenak Adya berhenti untuk mengatur napas. Dalam hati ia menyayangkan pengerjaan jembatan yang dilakukan oleh salah-satu kontraktor lokal tersebut. Tidak ada penanda yang jelas selain pagar kayu dan terpal. Bila bukan batu gamping besar di sisi kanan jalan yang melekat jelas di ingatan Adya, mungkin mobilnya yang melaju kencang sudah menerobos palang rapuh tersebut dan terperosok.

"Begini kalau pendanaan ala kadarnya!" Adya merutuk. Sebelum proyeknya di mulai, jembatan tersebut bahkan sudah dua kali di perbaiki.

Setelah menenangkan diri, Adya bersiap memutar kemudi menuju ladang warga yang dialih-fungsikan sebagai jalan alternatif untuk sementara. Akan tetapi begitu menoleh ke spion kiri, gerakan tangannya terhenti.

Ada sesuatu yang tampak janggal di atas dashboard yang hanya diterangi lampu dari spidometer dan wireless. Debar di dada Adya kembali terpacu begitu menyadari miniatur pengantin yang ditempatkan Kyara di sana hanya tinggal seorang diri, tersisa miliknya saja.

Adya meraba langit-langit, menekan sakelar lampu. Ia menunduk dan mencari-cari di kolong kursi dengan panik.

"Kyara ...." Adya berujar lirih saat mendapati boneka kecil bertuliskan nama istrinya di sudut kursi. Adya mendadak merasa gelisah. Meski di pikirannya terlintas Irena yang sedang membutuhkan pertolongan pertama, tetapi hatinya justru didominasi oleh rasa khawatir pada Kyara. Selama menikah, tidak sekali pun ia membiarkan Kyara sendirian di rumah pada malam hari.

Desahan yang keluar dari mulut Adya menciptakan sekelebat uap di udara. Terlintas kembali sorot mata istrinya yang meredup saat ia hendak meninggalkan rumah tadi. Adya pun tidak ingin kyara berpikir macam-macam, tetapi tidak ada waktu untuk menjelaskan. Dan lagi, semua perkatannya hanya akan terdengar sebagai alasan tak masuk akal.

Adya meraih miniatur milik Kyara dan mengelusnya dengan gamang. "Tunggulah sebentar lagi, istriku ...."

🍀🍀🍀

Dering ponsel yang terus berulang membuat sudut bibir Irena tertarik. Sengaja panggilan tersebut diabaikan olehnya. Kepanikan Adya selalu
membuat Irena merasa di atas angin, mengusir kegelisahaan di masa lalu dari keadaan terbuang dan terasingkan yang membuatnya mengutuk dunia.

Seperti yang sudah-sudah, Irena tidak merasa salah dengan itu. Adya sendiri yang memilihnya, bukan? Cinta memang butuh pengorbanan. Dibanding memanfaatkan, baginya apa yang diberikan Adya adalah timbal-balik. Give and take. Tidak ada yang gratis termasuk cinta.

Hate Me If You CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang