💕Happy-Reading💕
.
.
.
Sudah lewat dari tengah hari saat Adya bangkit dari kursinya dan meregangkan tubuh. Tidak banyak pekerjaan hari ini. Ia sekadar memantau jalannya proyek, kalau-kalau ada masalah ketika dirinya mengambil cuti pernikahan. Satu-satunya laporan yang terimanya hingga siang ini hanya kerusakan pipa air di basecamp staf yang sudah teratasi. Bahkan pertemuannya dengan para warga pagi tadi berakhir damai dengan cepat.Adya berjalan menuju jendela, mengamati lokasi proyek dengan stuktur jembatan layang yang semakin hari tampak semakin jadi. Sebagai pembangunan multi-nasional pada daerah karst dengan kontur tanah yang tidak rata, kawasan proyek tersebut terbilang cukup luas, hampir dua kali lipat dari proyek yang ia kerjakan sebelumnya.
Mengikuti alur jalan, dena konstruksi condong ke arah barat. Isi timur dan utara dipagari oleh dinding seng, sementara sisi barat dan selatan berbatasan dengan tebing. Fasilitas penunjang dibangun di bagian dalam yang berbatasan dengan tebing agar terhindar dari aktivitas jalan raya. Dari depan ke belakang berjejer kantor proyek, kantin, basecamp untuk staf, serta bedeng sebagai tempat tinggal tenaga kerja proyek. Selain kantor proyek yang nantinya akan dijadikan gedung untuk Balai Pelestarian Cagar Budaya, bangunan lain dibuat tidak permanen dengan sistem rakitan.
Pandangan Adya beralih turun dari permukaan tebing kapur yang rata ke sungai di bawahnya. Beberapa bulan yang lalu ketika sedang meninjau lokasi ditemani seorang geolog lokal, Adya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri segerombolan monyet endemik spesies Macaca maura turun ke sungai untuk minum air. Setelah pembukaan lahan, mereka tidak pernah terlihat lagi. Deru kendaraan, suara bor, dan polusi udara membuat mereka terusik dan pergi.
Meski sudah mengantongi izin dari Dinas Lingkungan Hidup serta Dinas Kehutanan dan Pertanian, Adya tetap merasa bersalah. Kyara benar, bukan hanya Macaca maura, seluruh makhluk hidup dalam ekosistem tersebut kehilangan tempat tinggal.
Ah, Kyara. Adya jadi memikirkannya lagi. Perempuan itu terlihat sangat peduli pada alam dan makhluk hidup. Bukan. Jiwa sosialnya memang tinggi.
Adya tidak ingin terkesan menilai kepribadian Kyara. Ia menahan dirinya untuk peduli akan hal itu. Namun, pernahkah kalian menolak masakan dari pasangan kalian, menghamburkannya di atas meja, lalu yang kalian peroleh hanya nasehat tentang kemiskinan dan kelaparan dengan tutur kata yang lembut dibarengi senyum manis? Adya yakin, bila itu perempuan lain yang bukan Kyara, paling tidak ia sudah menelan sumpah serapah.
Tatapan Adya tertuju pada kado dari para staf yang tidak hadir di acara pernikahannya kemarin. Saat memasuki kantor pagi tadi, mereka langsung menyambutnya dengan berbagai ucapan selamat.
Selamat menempuh hidup baru, Pak!
Istri Bapak cantik sekali!
Kapan-kapan ibu Kyara diajak main ke sini, dong!
Bibir Adya melengkung, membentuk senyuman miris. Meski tidak ada hal menarik yang bisa disaksikan selain tower crane yang sibuk mengangkut komponen precast, Kyara mungkin akan senang bila diajak berkeliling di sana. Namun, Adya akan berpikir dua kali untuk itu. Ia tidak ingin memamerkan Kyara pada orang-orang. Tepatnya, tidak boleh. Adya takut perasaannya pada Kyara semakin mengakar kuat bila mendapati istrinya tersebut memamerkan senyum manis pada orang lain.
Egois memang. Adya mengakui itu. Adya tahu tidak seharusnya ia menyalahkan Kyara atas pernikahan mereka. Sebab segalanya sudah kacau sejak awal. Jauh sebelum perjodohan yang diatur orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate Me If You Can
Romance|| Telah Terbit || WattpadRomanceID reading list Juli 2022 : Bittersweet of Marriage Life 💕💕💕 || Membawa Kyara ke desa terpencil bernama Mallawa adalah cara Adya untuk menciptakan neraka dalam rumah tangga mereka. Tujuan Adya sederhana, membuat...