15. Made-Up 💍

3.8K 376 102
                                    

💕Happy-Reading💕

.

.

.

Degup jantung Kyara masih memburu saat deru mobil Adya yang keluar dari halaman perlahan lenyap ditelan dersik angin pagi. Kyara duduk bersandar di balik pintu, kedua telapak tangannya ditekankan ke dada untuk meredakan denyut yang membuatnya sesak oleh perasaan gugup sekaligus bahagia. Hanya sebuah kecupan singkat di pipi Adya, tetapi kakinya sudah sedemikian lemas.

"Cuma di pipi ...." Kyara menarik napas dalam-dalam. "Mas Adya juga tidak terlihat keberatan," lanjutnya berusaha menenangkan diri.

Berhasil. Setidaknya selama beberapa detik sebelum bayangan Adya yang membalas kecupannya dengan memberikan ciuman di dahi kembali terlintas. Refleks Kyara menyentuh keningnya. Aroma oceanic yang segar saat Adya merapatkan tubuhnya masih tersisa. Adrenali dalam tubuh Kyara mengalir deras seketika, membuat otot-otot perutnya tertarik dan menghadirkan sensasi yang menggelitik.

Kyara menangkup wajahnya yang merona dengan malu-malu. Mungkin karena selama ini Adya terus bersikap dingin, baru sekedar kecupan singkat di pipi dan ciuman ringan di dahi, jantungnya sudah berdebar tak karuan.

Hampir setengah jam setelah Adya pergi, Kyara mendapati dirinya termenung seorang diri. Pikirannya terus berputar membayangkan bagaimana ia harus menyikapi Adya setelah ini. Apa mereka bisa lebih dekat? Apa kecupan di pipi bisa menjadi kebiasaannya tiap pagi saat mengantar Adya ke teras depan sebelum suaminya itu berangkat kerja? Dan ... apa Adya betul-betul bisa menerima kehadirannya?

Mungkin terdengar miris, tetapi Kyara merasa ada peningkatan besar dari hubungannya dengan Adya, jika dibandingkan hari pertama mereka tiba di Mallawa. Apalagi sikap Adya masih membingungkan baginya.

Bukan Kyara tidak sadar bila Adya mulai membuka hati. Adya mengkhawatirkannya sepanjang hari, bahkan menelepon dengan pembicaraan basa-basi hanya untuk memastikan keadaannya di rumah. Sore sepulang kerja, Adya sedikit demi sedikit membagi perhatian. Hanya saja, ketika malam tiba, suaminya itu malah menyisihkan diri.

Kyara tahu Adya menghindarinya, tetapi tidak mengerti alasan di balik sikap tersebut. Maka dari itu, Kyara sengaja tidur lebih awal–atau paling tidak memaksakan diri untuk tidur. Setidaknya dengan begitu, baik dirinya sendiri maupun Adya bisa melewati akhir hari dengan damai.

Akan tetapi, malam tadi berbeda. Adya kembali ke kamar lebih dulu. Bila tidak menguasai diri, mungkin Kyara sudah menjerit saking terkejut. Adya bahkan bercerita soal proyeknya dengan antusias dan dua arah. Adya memberinya ruang untuk bertukar pikiran.

"Waktunya beres-beres!" Kyara berseru sambil menepuk pipi, menegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak terus-menerus memikirkan Adya. Ia lalu melangkah menuju dapur, mengira-ngira apa yang bisa dikerjakannya untuk mengalihkan perhatian. Sayang sekali, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah membersihkan piring bekas Adya dari sisa remahan roti.

Tidak menemukan pekerjaan lain, Kyara memilih menata rumah. Pada awalnya pekerjaan tersebut terasa berat, sebab apartemennya dulu tidak seluas rumah mereka saat ini. Namun Kyara perlahan merasa enteng. Ia mulai berbenah dari ruang tamu, ruang tengah, dan berakhir pada kamar kerja Adya.

Wangi Adya yang tersisa di sana membuat pikiran Kyara otomatis mereset lagi adegan pagi tadi. Kyara mengatupkan bibir dan merapikan berkas-berkas yang berhamburan di meja kerja Adya sambil  tersipu seorang diri. Ia mengatur tiap dokumen dengan teliti agar tetap berurutan dan tidak menyulitkan Adya ketika mencari nantinya. Sementara beberapa kertas buram dan gambar sketsa disatukannya dalam map plastik.

Hate Me If You CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang