Bagian 16||Kiana

35 5 2
                                        

Ica mempersilahkan Gita masuk ke dalam rumahnya, Gita yang baru saja memasuki rumah luas dan mewah itu tampak membuka mulutnya lebar-lebar, matanya tak berhenti meneliti setiap sudut rumah.

"Gita, ayo!" suruh Ica pada perempuan berkucir kuda itu, pasalnya dia hanya terdiam di ambang pintu

"Wah, lo orang kaya ternyata ya. Mewah bener!" puji Gita, lalu ia mengikuti Ica yang duduk di sofa

"Ini rumah orang tua aku," ujarnya lalu ia berlalu menuju dapur

"Bi Ani, anterin cemilan ke kamar ya?"

"Oh siap dek Ica."

Ica kembali ke ruang tamu dan mengajak Gita untuk mengikutinya ke lantai dua, kini mereka masuk ke kamar Ica yang di penuhi dengan warna biru muda.

"Cewek banget ini mah," ucap Gita sambil tersenyum-senyum

"Hehe iya dong."

"Eh, bokap nyokap lo kerja apaan emang? Ko rumah lo bisa se gede ini? Eh tapi sorry ya, gue ini orangnya kepoan."

"Nggak pa-pa Ta, Papah Mama ku mereka sama-sama kerja, Papa kerja di usahanya sendiri, di bidang bisnis kuliner. Kalo Mama dia di butik. Butik peninggalan nenek."

Gita membulatkan mulutnya, lalu ia tertunduk sambil mengusap-usap lengannya.

"Kamu kenapa, Ta?" tanya Ica yang khawatir, karena tiba-tiba saja Gita tampak murung

"Lo beruntung banget punya orang tua yang utuh Ca. Sedangkan gue...," Gita menggantung kalimatnya, ia tak bisa lagi menahan air matanya

Ica dengan segera mendekap tubuh Gita yang lebih tinggi darinya, ternyata perempuan yang terlihat tangguh dan mandiri ini bisa menangis juga. Sepertinya, ada sesuatu didalam keluarganya.

"Kamu kenapa, Ta? Ada apa? Cerita sama aku! Aku dengerin kok."

"Bokap gue pergi ninggalin gue sama Ibu, dia lebih memilih wanita lain dan gue nggak tau alasannya apa, dia.. dia jahat Ca. Dia nggak pernah peduli sama gue sekalipun, sampai-sampai Ibu rela jadi TKI di Malaysia biar gue bisa makan dan sekolah yang baik."

Benarkan, dibalik sikapnya yang pemberani dan menyenangkan, Gita memliki penderitaan yang ia sembunyikan.

Ica terus saja menepuk-nepuk pundak Gita, agar dia berhenti terisak. Sekuat apapun perempuan, sekuat apapun seseorang dia akan menangis apabila membicarakan sosok Ibu.

"Kamu jangan merasa sendiri ya? Sekarang kan kamu berteman sama aku. Aku siap bantu apapun yang kamu butuhkan."

Gita melepas menatap Ica, "Thank's ya, gue benar-benar merasa bersalah banget udah fitnah lo."

"Udah, jangan dibahas lagi."

"Terus, kita mau ngapain? Belajar?"

Ica menggeleng, "Emang kamu lupa tadi di sekolah aku bisikin apa?"

"Eemm, beli photo card? Terus hubungannya sama kamar lo?"

Tok tok tok

"Masuk Bi," suruh Ica, lalu Bi Ani tampak membawa nampan yang berisi sandwich dan orange juice.

Mulut Gita terbuka lebar, perutnya memang sudah keroncongan sedari tadi, dan sepertinya Ica tahu saja jika Gita lapar.

Kini Bi Ani sudah berlalu dar kamar Ica, dan Gita dengan lahapnya memakan sandwich itu. Ica hanya menggelengkan kepalanya heran.

Ica duduk di meja belajarnya, dan membuka notebook berwarna biru muda yang ada di hadapannya, tatapannya mulai serius dan jemarinya terus menggeser kursor.

DUA TIPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang