Bagian 20|| Mas Arsa

27 6 2
                                        

"Dokter kenapa nggak jawab semua pertanyaan aku? Aku nggak nyaman ya kaya gini kak?!"

Arsa tersenyum, bisa-bisanya dia gemas melihat Ica yang menyilangkan kedua lengannya di atas dada. Seperti marah tapi jatuhnya ke imut.

"Kok malah senyum? Sengaja ya?"

"Bukan, biar saya jelaskan semuanya ya? Tapi syaratnya kamu harus diam."

Ica terdiam, ia terus saja memandangi Arsa dengan kesal. Lalu sedetik kemudian Arsa menatap Ica, "Iya ya, aku nggak ngomong."

"Saya dapat nomor dan alamat rumah kamu dari Bintang-"

"Abin? Kok bisa?" potong Ica

"Ica," tegur Arsa dengan lembut

"Iya iya."

"Ada yang harus saya selesaikan sama kamu, hari ini kamu ikut saya ya? Kamu bolos sekolah satu hari?"

"Ih nggak mau, kenapa tiba-tiba banget? Lagian urusan apa si Dokter?"

"Kamu hubungi teman kamu di kelas untuk dimintai izin, tapi saya juga bisa si hubungi pihak sekolah untuk mengizinkan kamu."

"Dokter ini ada apa sih aku nggak paham? Dan satu lagi, arah sekolah aku bukan kesini!"

"SMP NUSA BANGSA, apa kamu ingat?"

Ica terdiam, ia meremas roknya. Jelas ia ingat, itu sekolahnya dahulu bersama Bintang dan masa lalunya juga yang menyakitkan.

Ica mengangguk, ia sedikit ketakutan saat mendengar nama sekolah itu.

"Tenang saja Ica, saya nggak akan bawa kamu kesana."

"Iya dokter, makasih!"

"Jangan panggil saya dokter ya? Kita kan udah saling kenal."

"Terus, manggilnya apa?" tanya Ica dengan polosnya

"Mas Arsa."

***

Di taman yang jauh dari Jakarta Selatan, mereka duduk di kursi yang suasana taman itu sangat sepi, karena ini jam sekolah dan bekerja.

"Kamu mau bantu Bintang menyelesaikan masalahnya di masa lalu?"

"Mau, tapi aku nggak yakin."

"Kenapa?"

"Bintang udah nyuruh aku buat berhenti Dok, dia nggak mau aku ungkit masa lalunya."

Arsa menatap mata Ica dengan tajam, Ica terdiam sejenak dan berpikir apa yang baru saja ia katakan.

"Iya maaf, maksudnya Mas Arsa."

Arsa tersenyum, "Liat sosok kamu, mas Arsa bangga loh! Kamu itu kuat dan berani."

"Makasih."

"Cuma itu?"

"Maksudnya?" tanya Ica kebingungan

"Kita jalan kesana ya? Sambil mas jelasin."

Ica menuruti, ia berjalan di samping Arsa yang tampak melihat keatas melihat dedaunan pohon yang lebat.

"Liatin apa?"

Arsa menunduk melihat gadis pendek yang ada di sampingnya, "Rencananya seperti ini, nanti kamu buat Bintang ingat masa lalunya, dan tuntun dia untuk memaafkan segalanya."

"Bahkan itu bukan jawaban yang aku tanyain."

"Bahkan pertanyaan kamu itu nggak penting buat di jawab, udah tahu saya cuma iseng," ujar Arsa dengan sedikit kekehan dan membuat Ica kesal

"Iih, nyebelin banget si nih dokter! Ada ya dokter kaya kamu?"

"Hehe iya maap maap. Tadi kamu paham nggak apa yang mas bilang?"

"Iya paham, tapi bukannya itu sulit? Kalau cemas berlebihannya kambuh gimana?"

"Kan ada mas."

Ica memicingkan matanya, ada yang aneh bukan? Ia merasa tidak sepatutnya ia memanggil lelaki yang memang lebih tua darinya dengan sebutan mas. Bukan kah itu untuk panggilan orang yang sudah dekat? Dan memiliki hubungan khusus?

"Ica kenapa?"

Dengan cepat Ica menggeleng, tak pernah sekalipun orang ini kesal. Ia terus berbicara lembut dan tersenyum, ia yakin pasti perempuan yang seusianya jika di perlakukan seperti ini akan langsung jatuh hati dengan dokter rupawan ini.

"Tapi Dok, maksudnya mas Arsa ngapain lihatin langit?"

"Nggak kenapa-kenapa, cuma mas lagi ngerasa cuaca hari ini kurang cerah, ya kan?"

"Cerah kok, cuacanya bagus. Bahkan nggak mendung!"

"Oh iya? Hmm apa kalah cerah sama-"

"Sama apa mas?".

"Ah enggak, kamu coba lihatin langit dari celah dedaunan deh, biar bisa mastikan sendiri gimana cuacanya!"

Ica menurut, ia memandangi langit dari celah lebatnya dedaunan pohon yang menjulang.

Arsa ikut memperhatikan wajah Ica yang terpapar sinar matahari dengan sedikit bayangan dedaunan.

Memang benar, kamu yang lebih cerah dari pada langit. Kenapa kamu manis sekali?

Arsa mengalihkan pandangannya, apa yang kamu lakukan hei?!

"Mas Arsa!"

Arsa menoleh, ia benar-benar melihat wajah cantik Ica yang tersenyum kearahnya. Ya Tuhan, sangat manis.

"Agak mendung, kita pergi yuk?"

Arsa masih terdiam, benarkah dia sedang mengatakan itu padanya? 'mas Arsa' sejak kapan kata itu begitu hangat dan membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.

"Mas!"

Sialan, lagi-lagi

"MAS ARSA!"

"Oh iya iya, ayo pindah!" di beri teriakan lebih dulu, baru menyahut

.
.

Jangan lupa follow akun author ya🤗

Follow sosial media author
Ig : @p.velisa0811
Twiter : @KhairaVelisa
Fb : Putri Velisa

Terimakasih sudah membaca Dua Tipe, nantikan chapter selanjutnya yaaa 😍😉

Terimakasih sudah membaca Dua Tipe, nantikan chapter selanjutnya yaaa 😍😉

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mas Arsa

DUA TIPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang