Bagian 27|| Kita?

16 6 2
                                    

Ica terus melihat ke arah belakang, ia sedari tadi tidak tenang, padahal ia tengah berada di mobil orang yang ia kenal.

"Ca!" panggil Arsa

"Hm?"

"Ikut Mas ke Bandung ya?!"

"Hah?"

Arsa tertawa ia bisa melihat sedikit wajah terkejut Ica yang menggemaskan, "Bercanda, maaf!"

"Mas Arsa kenapa sih? Mas Arsa ada perlu apa sama aku?"

Arsa hanya diam, di dalam hatinya ia mengatakan bahwa dia hanya ingin melihat Ica, hanya ingin mendengar suaranya dan wajah mungil yang menggemaskan itu.

"Tentang Bintang."

Hanya itu alasan Arsa agar bisa menemui Ica, dan alasan itu pula yang membuat Ica mau pergi bersama Arsa.

Namun, apakah ucapannya salah? Kenapa Ica hanya diam dan tidak mengatakan apapun, padahal ia selalu semangat jika membahas Bintang.

"Ca, kenapa?"

"Memangnya Abin kenapa?"

Tumben, batin Arsa. Tumben sekali tidak ada raut bahagia di mata gadis ini ketika mendengar nama Bintang.

"Kita ke cafe Varein ya? Sebentar, nanti saya ceritakan."

Ica hanya mengangguk, dan mengikuti apa kata Arsa.

Setibanya mereka di cafe Arsa sibuk memandangi raut wajah Ica yang datar dan tidak semangat, Arsa pikir, apakah ini salahnya? Salahnya mengambil waktu Ica bersama teman-temannya.

"Udah nemu yang mau di pesan, Ca?" tanya Arsa

"Iyaa, aku mau vanilla latte aja," ujarnya

"Makanannya?"

"Nggak usah."

"Oke," sahut Arsa lalu ia melihat kearah menu miliknya, "Kalau saya cappucino satu sama Velvet hammer satu, kalo Ica vanilla latte aja!" ujarnya pada pelayan yang sedari tadi menunggu

Ica menatap Arsa, meneliti di setiap gerakannya. Nah kan batin Arsa

"Menu kesukaan Abin," gumam Ica, tapi Arsa bisa mendengarnya dengan jelas

"Iya!"

"Tadi, katanya mas Arsa mau cerita, cerita apa?"

Arsa menghela nafasnya sejenak, "Pasti dalam pikiran kamu selalu terbesit pertanyaan, kenapa Bintang tidak ingat, kenapa Bintang berubah, dan kenapa kenapa yang lain."

Ica terdiam, memang benar seperti itu. Apakah itu yang di ketahui seorang psikiater?

"Ca, Bintang itu sakit!"

"Iya mas, aku tau."

"Lalu, kenapa kamu tidak datang padanya saat itu?" tanya Arsa

"Bukan hanya dia, aku juga sakit. Aku pikir semuanya akan kembali normal setelah kita sama-sama tenang, ternyata ketika aku tenang, Abin lebih tenang dengan kehidupannya yang sekarang."

Mungkin, disini Arsa merasakan kesalahan dalam ucapannya. Dia memang terlalu mengutamakan Bintang sebagai pemeran utama dalam pembicaraan malam ini.

"Dia trauma akan masa lalunya, sekitar satu tahun dia bersama saya bahkan sebelum ibunya meninggal. Saya selalu memberikan terapi dan juga pengarahan yang mengacu pada kehidupan di masa depan. Jadi, Ca dia lupa akan masa lalunya yang menyakitkan."

Ica menahan air matanya, ia merasa tidak adil atas semua yang sudah terjadi pada Bintang, ia merasa dirinya juga berhak bahagia dengan hidupnya yang sekarang, bukan hanya Bintang!

DUA TIPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang