Bagian 7|| Hadirnya Rembulan

46 6 0
                                    

Seseorang yang baru saja melepas kemeja putihnya itu memandangi langit malam, langit yang sangat menenangkan ini mengingatkan dirinya pada pasiennya dulu. Ia selalu menatap bintang dan rembulan. Katanya, dia rindu pada seseorang.

Arsa, psikiater muda yang tengah melakukan kebiasaannya ketika pulang kerja, yaitu mengingat kejadian dan kenangan bersama pasiennya.

"Bintang, apa kabar? Sudah bertemu dengan rembulan mu?" gumamnya sambil menatap langit, seolah ia tengah berbicara pada penghuni langit.

Ndrttt

Ndrttt

Suara getaran pada ponselnya mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang ia letakkan di atas meja, dengan segera ia berjalan cepat menuju meja makannya.

"Bintang? Kebetulan sekali," ujarnya, lalu ia menekan tombol hijau pada ponselnya

"Iya, ada apa, Bintang?"

"Arsa."

Suaranya sangat lemah, Arsa bisa merasakan itu meski ia tak melihat wajah Bintang secara langsung.

"Lo kenapa, Bintang? Jawab saya?!"

"Tolong!"

Hanya itu yang Bintang ucapkan, setelah itu yang ia dengar dari seberang telepon adalah suara kursi yang terjatuh hingga menimbulkan suara yang amat keras.

Arsa panik, dengan segera ia mengambil tas dan jaket yang ia gunakan ketika ada pekerjaan mendadak.

Perlu waktu lebih dari setengah jam untuk sampai di rumah Bintang, namun kini Arsa ngebut dan berharap sampai disana dengan cepat dan dapat menyelamatkan nyawa Bintang.

Keadaan jalanan sepi, Arsa merasa lega dengan ini hingga ia bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

Benar, memang tidak butuh waktu lama untuk sampai disini, kini Arsa berlari masuk ke dalam rumah Bintang, dan ternyata ia sudah di tunggu oleh Ayahnya Bintang.

"Bagaimana Bintang, Pak?"

"Dia masih belum sadarkan diri, tolong dia ada di kamarnya."

Kini Arsa berjalan mengikuti langkah sang Ayah yang menunjukkan kamar Bintang, setelah sampai ia bisa melihat Bintang terkapar lemah diatas tempat tidurnya.

Arsa melihat obat penenang yang yang terjatuh dia atas lantai, itu pasti sudah habis, untungnya ia membawa obat itu di tasnya, ia mengeluarkannya dan menempelkannya pada hidung Bintang.

Tidak lama kemudian Bintang sadarkan diri dan Arsa memberikan beberapa obat kapsul untuk diminum olehnya.

"Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanyanya pada Bintang

Bintang yang tampak sangat ketakutan itu terus menunduk, matanya yang merah tampak seperti orang yang kesakitan.

"Pak, Dek, boleh saya bicara dengan Bintang berdua?" tanyanya pada Ayah dan adik Bintang.

"Nggak, sebenarnya apa yang terjadi pada kakak saya dok? Saya mau tahu!"

"Na!" panggil Ayahnya

"Nggak Pah! Bahkan papah juga pingin tau kan?"

"Nana, itu bisa dibicarakan nanti ya?" bujuk Arsa, dan pada akhirnya Nana menuruti apa kata Arsa.

"Ada apa?" tanya Arsa pada Bintang

"Sebenarnya, kenapa dengan ingatan ini? Kenapa gue tidak mengingat suatu kejadian?"

"Kejadian apa? Memangnya siapa yang kau lupakan?"

"Seorang perempuan, dia bilang kita sangat dekat," ujarnya pada Arsa

'Rembulan' batin Arsa

"Bagaimana bisa saya melupakan dia? Dan, baru saja saya bermimpi dan di dalam mimpi itu kita sangat dekat."

Arsa menghela nafasnya, ditatapnya pasien yang sudah lama tak berkunjung ke rumahnya.

"Mimpi itu, apa masih?"

Bintang mengangguk, tiba-tiba wajahnya ketakutan saat ditanya soal mimpi.

"Tenang saja, tidak akan ada lagi yang menganggu ketenangan lo, dan untuk perempuan itu, mungkin dia hanya seseorang yang menganggapnya teman di masa lalunya."

Bintang masih saja ketakutan, ia memejamkan matanya berkali-kali dan berusaha menghilangkan mimpi yang menyeramkan itu..

"Coba lo sisihkan kejadian itu, lalu lo bayangkan seseorang yang membuat lo bahagia hari ini," suruhnya pada Bintang

Bintang kembali memejamkan matanya, lalu sesosok perempuan itu hadir di pikirannya begitu saja, tentu saja dia itu. Kian

"Sudah?" tanyanya pada Bintang

Bintang mengangguk, lalu dia tersenyum.

"Sekarang lebih tenang, bukan?" Arsa tersenyum memandangi wajah Bintang yang tak lagi gelisah, "Datang ke rumah saya, ya? Saya akan selalu membantu."

"Iya."

Arsa berdiri lalu ia berpamitan pada Bintang untuk pulang, ia pun keluar kamar dan yang ia saksikan adalah keluarga Bintang serta satu perempuan berambut pendek dan kecil itu berdiri di samping Nana.

Arsa memandangi wajah perempuan yang tampak panik itu, bahkan ia menggigiti kukunya sesekali.

"Ada apa si? Saya mau tahu ada apa dengan kakak saya?" tanya Nana pada Arsa

"Na!" tegur Ayahnya

"Bintang sudah membaik, dia baik-baik saja," jawabnya sambil tersenyum

"Kan, dari dulu sampai sekarang gitu terus jawabannya, emangnya serahasia itu ya kak Bintang sama aku sama papa, kalian itu sama aja. Nggak ada yang peduli sama kekhawatiran aku." Nana menangis, lalu ia pergi dari sana dalam keadaan emosi

"Maafkan anak saya ya, Dok!"

"Tidak apa-apa, dia masih muda."

"Terimakasih sudah datang, dan maaf."

Arsa hanya tersenyum menanggapi ucapan lalu ia beralih menatap Ica.

"Kamu siapa?"

"Ica," jawabnya malu-malu

"Ica?"

"Disya Maleana Adicandra."

Arsa membulatkan mulutnya, benar Adicandra adalah bulan dan di adalah perempuan yang Bintang rindukan selama ini. Yang terlupakan juga.

"Aku boleh masuk? Mau ketemu Bintang," izin Ica

"Oh boleh, dia belum tidur kayanya."

Arsa memandangi punggung kecil yang mulai menjauh darinya, Bintang yang kau tunggu sudah datang. Maaf, tapi sepertinya kamu tidak siap untuk mengingat kembali.

.
.

DUA TIPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang