Kini ada tiga kursi di meja ini, Bintang terus saja melihat ponsel hanya sekedar memastikan jam berapa ini, dirinya harus pulang dan belajar. Tapi, sepertinya obrolan Ica dan Arsa ini terlalu menarik.
"Oh, jadi kamu psikiater bukannya dokter?" tanya Ica sambil memasukkan tiramisu cake ke dalam mulutnya
"Cuma beda tipis, kita sama-sama menyembuhkan orang sakit," jawab Arsa dengan ramah
Ica manggut-manggut, lalu ia meneguk orange juice sejenak.
"Dulu kamu kuliah berapa lama? Waktu kuliah susah-susah nggak pelajarannya? Terus kamu kuliah di mana?"
"Saya kuliah di-"
"Ca, jangan banyak nanya bisa nggak? Dia itu abis pulang kerja. Mau ke cafe buat menghilangkan stress, bukan malah di tanya-tanya," sela Bintang
"Maaf, kan aku cuma nanya," ucapnya sambil mengeluarkan ekspresi menyesal
Arsa tersenyum, "Nggak pa-pa kali, Bin. Dia cuma nanya hal sederhana. Nggak susah juga buat jawab."
Bintang malah mengalihkan pandangannya, ia malas mengobrol dengan siapapun malam ini. Karena jujur, dia kecewa tidak bisa menemui Kian malam ini.
"Oh ya sampai mana kita tadi?" tanya Arsa pada Ica
Dan, jadilah suara mereka menjadi backsound di balik Bintang melamun.
Kenapa, semalam ini masih banyak pengunjung datang ke sini? Banyak dari mereka datang sendiri, apakah mereka kesepian? Tidak ada teman? Atau memang sengaja menenangkan pikirannya sendiri? Ah, untuk apa memikirkan itu. Toh, kamu juga seperti itu kan Bintang?
Bintang jadi ingat, saat dulu ia belum terlalu mengenal Kian di sekolah saat kelas sepuluh. Ia merasa kesepian dan tak ada teman. Ia selalu pergi ke cafe untuk menikmati minuman yang ia pesan, dan anehnya saat pelayan tanya ingin minum apa dia hanya menjawab terserah, maka dari itu Bintang sering menikmati minuman yang berbeda di cafe ini.
Dulu, Bintang ingin sekali memiliki teman untuk diajak main dan mengobrol seperti halnya tiga orang yang ada di hadapannya, mereka juga sama, sama-sama memakai seragam SMA, tapi mereka memiliki banyak teman. Tapi, Bintang tak ambil pusing ia selalu menikmati kesendiriannya dengan belajar, dimanapun dan kapanpun ia selalu membuka buku dan membaca. Hingga pada dua minggu akhir ia datang ke cafe ini ia bertemu dengan Kian.
Saat itu suasana cafe sangat ramai, dan disitu Bintang duduk sendirian sambil menuliskan beberapa rumus Kimia yang harus ia hafalkan. Lalu Kian datang dan meminta izin untuk duduk satu meja dengannya, dan Bintangpun mengizinkannya.
Bintang kembali fokus pada bukunya namun tiba-tiba jemarinya di sentuh oleh Kian.
"Kita satu kelas loh, masa sih lo nggak kenal gue?"
Bintang tergelagap, ia menatap wajah Kian sambil mencoba mengingat. Namun, ia lupa dan bahkan tak ingat. Mungkin karena baru dua minggu masuk sekolah jadi masih terlihat asing.
"Gue dengar lo pintar, lagi belajar ya?"
Bintang hanya mengangguk
"Lo boleh ajarin gue nggak? Yang tadi di ajarin Bu Rani gue kurang paham, gue liat lo lihai banget kerjain soal yang ini," ujar Kian sambil melihat buku belajar Bintang
"Boleh, sini biar gue ajarin."
Kian tersenyum lalu ia memperhatikan Bintang yang mulai menuliskan dan menjelaskan bagaimana cara mengerjakannya, dan tiba-tiba Kian menatap wajah Bintang.
"Lo, mau nggak jadi temen gue?"
"Hah?"
"Ah enggak, maksudnya kita kaya sahabatan gitu loh. Paham nggak?"

KAMU SEDANG MEMBACA
DUA TIPE
أدب المراهقينBintang Gala Pratama terus dibayangi masa lalu yang menyedihkan, ketika ia mencoba mengambil tindakan untuk pergi dan melupakan masa lalunya, ia bertemu dengan Kiana gadis cantik yang siap menemaninya. Namun, Bintang jatuh hati akan kebaikan Kiana d...