Bagian 17|| Bayangkan masa lalu

34 4 0
                                    

"Kak aku mau dua ya?"

"Kak yang ini lagi viral loh, aku mau yang ini juga."

"Kak!"

"Kak Abin!"

Bintang tergelak, ia menatap adiknya yang memeluk beberapa novel, "Oh iya, ambil aja!"

"Kakak kenapa sih? Kakak sakit?"

"Nggak," jawabnya, "Kalo udah selesai langsung pulang, besok kamu sekolah."

Nana hanya mengangguk, ia kembali melihat-lihat buku yang sangat menarik, ia ingin sekali membelinya tapi tidak mungkin untuk saat ini. Karena ia juga sudah membawa dua novel.

Bintang membayar buku yang tadi Nana beli, sangat lama karena antrian juga cukup panjang. Nana melihat dari kejauhan, ketika ia melihat wajah sang kakak ia jadi teringat seseorang. Bunda.

Iya, wajah Bintang memang sangat mirip dengan Bunda, entah bagaimana Nana yang perempuan tidak mirip dengan Bundanya dan malah Bintang yang mewarisi hidung mancung dan dagu yang tajam itu. Memang penilaian tetangga itu tidak ada yang salah.

"Nana!"

"Ica?"

Ica berdiri di hadapan Nana, ia juga membawa beberapa buku di pelukannya.

"Kamu kesini sama Abin, ya? Abin mana?"

"Iya, tuh lagi bayar!" tunjuk Nana pada Bintang dari kejauhan

"Ah gitu ya, kau juga mau bayar. Tapi, tungguin aku ya? Aku mau main sama kalian."

"Oke."

Ica berlari menuju kasir dan kini ia berdiri di belakang Bintang, ia tersenyum-senyum memperhatikan bahu Bintang yang lebar, bahu yang tertutup jaket hitam ini sangat cocok sekali untuk bersandar. Ah, mikir apa kamu Ica!

Setelah selesai keduanya membayar buku, Ica terus mengikuti langkah Bintang yang hendak pulang dengan Nana.

"Ngapain lo ngikutin gue?" tanya Bintang, ia tampak menukikkan alisnya, itu adalah kebiasaannya ketika suasana hatinya sedang buruk.

"Em.."

"Kak! Jangan kasar dong," sela Nana

"Aku mau ikut Abin boleh?" tanya Kca dengan polos

"Gue pulang sama Nana, motor gue cuma muat buat dua orang. Lagian lo kesini sama supir lo kan?"

"I- iya, tapi aku mau main ke rumah Abin ya? Sebentaar aja."

"Nggak! Gue sibuk."

"Kak," lerai Nana, ia memukul tangan kakaknya saat itu.

"Gini aja Ca. Lo sama kak Abin naik motor, biar gue pake sopir lo aja gimana?"

"Boleh boleh," jawab Ica dengan semangat

"Na-"

"Kak, aku ke mobil pak supir dulu ya?"

Alhasil Nana dan Ica bertukar kendaraan. Memang kemauan Ica itu seperti anak kecil, semuanya harus di turuti. Bahkan untuk hal yang seperti ini saja terlihat ribet dan repot, ya karena kemauan anak yang satu ini itu penuh teka-teki.

***

Ica memandangi wajah Bintang yang terus saja muram, ia bahkan tak tersenyum sekalipun saat Ica mengajaknya berbicara tentang Gita dan Hana.

Mereka tengah duduk di kursi depan rumah Bintang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, di jam seperti ini saja Ica tidak mau pulang sebelum Bintang tersenyum.

"Abin? Kamu lagi mikirin apa sih?"

"Lo kenapa nggak pulang? Kasian supir lo nungguin."

"Nggak pa-pa, Pak Karyo sabar kok orangnya."

"Orang yang kerja sama lo emang harus sabar," ucapnya dengan ketus

"Kok Abin ngomongnya gitu sih?"

Bintang mengalihkan pandangannya, ia benar-benar mala berbicara dengan siapapun. Otaknya terus saja memikirkan Kiana, ada apa Kiana dan Damar?

Tuk

Sesuatu terjatuh dari saku Bintang, dengan segera Ica mengambilnya, dan Bintang kalah langsung merebut kanvas kecil pemberian Kian yang sedari tadi ia pikirkan itu.

"Lukisan siapa itu?"

"Bukan urusan lo."

Ica kembali meraih paksa kanvas kecil itu, lalu ia memandangi lukisan dengan latar gelap.

"Dia ingin keluar, dia nggak nyaman. Ada hal yang ingin dia gapai tapi dia tidak mampu," ujar Ica sambil menatap lukisan itu

"Kata siapa lo?"

"Menurut penilaian aku aja sih, aku nggak tahu isi kepala pelukisnya. Pelukisnya kamu ya Bintang?"

"Bukan."

Ica memberikan kanvas kecil itu, lalu ia mendekat ke arah Bintang dan menyentuh dahi Bintang.

Bintang terkejut bahkan ia mundur karena bingung kenapa Ica tiba-tiba melakukan hal ini?

"Kamu lagi banyak pikiran ya?"

Entah kenapa, sentuhan jemari Ica yang kecil ini membuat mata Bintang terpejam, kenapa bisa senyaman ini?

Ica tersenyum, karena sentuhannya ini membuat Bintang nyaman, ia menyentuh pipi Bintang untuk kembali memberikan kenyamanan.

"Aku ingin melindungi, menjaga, dan menyayangi Abin sampai Abin sendiri yang menghentikan kalau semua ini harus berakhir."

Tiba-tiba telinga Bintang berdenging, di sela matanya yang tertutup tiba-tiba ia melihat bayangan kedua anak SMP yang sedang duduk di bangku taman sambil memakan ice cream.

"Enak kan, Ca?"

Perempuan itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan lelaki tampan yang duduk di hadapannya.

"Aku ingin melindungi, menjaga, dan menyayangi Ica sampai Ica sendiri yang menghentikan kalau semua ini harus berakhir," ujarnya sambil membelai rambut panjang perempuan itu

"Janji?"

"Janji, Ca."

Bayangan itu hilang, kepala Bintang terasa sakit dan telinganya terus berdenging, kini Bintang mengaduh kesakitan dan membuat Ica panik.

"Abin, Abin kenapa?"

"Sakit, sakit," Bintang terus memegangi kepalanya yang sakit dan kini tubuhnya terjatuh diatas rumput

Ica menangis, ia ketakutan melihat Bintang yang merasa sakit seperti ini.

Ica memeluk tubuh Bintang, ia sama sekali tak berteriak meminta tolong, ia menahan tubuh Bintang yang terasa kaku dan tangannya yang terus memegangi kepala.

Memang ini tujuannya, memang seperti ini mau Ica. Ica mau Bintang mengingat semuanya.

"Abin, ada Ica disini."

Bintang kini berhentilah kesakitan, ia menatap wajah Ica dan memegangi pipi yang basah karena air mta itu.

"Lo siapa? Kenapa lo ada di setiap ingatan gue?" tanyanya, tangannya gemetar

"Aku udah bilang di awal, aku-"

Grepp

Ucapan Ica terhenti, kini tubuhnya dibekap oleh Bintang dengan erat.

"Lo masa lalu gue?"

Ica mengangguk di balik pelukan itu.

"Jangan buat gue ingat kembali masa lalu yang menyakitkan, cukup!"

.
.

Jangan lupa follow akun author ya🤗

Follow sosial media author
Ig : @p.velisa0811
Twiter : @KhairaVelisa
Fb : Putri Velisa

Terimakasih sudah membaca Dua Tipe, nantikan chapter selanjutnya yaaa 😍😉

DUA TIPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang