10. Runtuh Nan Terluka

476 40 44
                                    

Kita hanyalah manusia yang terluka
Terbiasa tuk pura-pura tertawa
Namun bolehkah sekali saja kumenangis?
Ku tak ingin lagi membohongi diri
—Feby Putri

◀❇❇✳❇❇▶

Seth sudah mewanti-wanti seandainya gadis yang ia bawa ke daerah Lebak Bulus ini mengenal Jihan, si pemilik rupa yang sama. Sebab semenjak motor diberhentikan dan topinya dilepas, tatapan mata Abel sama sekali tidak lepas dari dirinya.

"Mau sosis atau roti?" Seth menunjukkan dua benda yang ada di tangannya ke arah Abel. Ekspresinya datar, dalam hati sedikit tidak ikhlas bila masa Abel akan memilih sosis alih-alih roti.

Abel yang sejak tadi tak bersuara menunda untuk menjawab tawaran berikut. Justru ia buang muka menghindari kontak mata, kesan mata Seth yang galak dan tak berempati menjadikan Abel enggan bertatap mika dengannya. "Gak mau."

"Puji Tuhan kalo lo nolak."

Ya terus ngapain nawarin?

Gadis itu mencibir tanpa suara. Arah matanya kini sudah tertuju ke lalu lalang jalan yang ramai akan kendaraan bermotor, kaki panjangnya diluruskan ke bawah meja sementara bokongnya setia mencumbu kursi depan minimarket. Air muka Abel kurang bagus, menyiratkan kalau jauh di dalam atmanya, sedang terjadi sesuatu yang mengakibatkan perasaan gelisah dan waspada.

Sejujurnya, Abel masih takut.

Sulit rasanya untuk membangun mitos bahwa dirinya baik-baik saja usai bertemu dengan Galuh dan temannya. Boro-boro aksi pelecehan, beradu tatap saja Abel yakin kalau ia tak kuasa.

Tak kuasa menampung takut yang kembali datang, saat memori itu kembali terulang di benaknya. Entah itu ketika Galuh menyeretnya ke sebuah pabrik bekas yang banyak botol mirasnya, kemudian benda panjang yang tajam dipaksa masuk ke indra pendengaran, aksi pahlawan kesiangan Edwin yang sangat membantu, hingga saat Yanda mengamuk di pengadilan minta hukuman yang lebih sepadan. 

Lagi pula... Memangnya ada orang yang masih bisa bersantai saat beberapa saat lalu, dirinya nyaris dilecehkan oleh pelaku pelecehan yang sama? Jangankan dua kali atau lebih, satu kali mendapat perlakuan tak senonoh tersebut saja Abel langsung memiliki gejala PTSD. Melakukan rehabilitasi untuk kesehatan mentalnya yang terguncang bukanlah hal menyenangkan, berkurangnya fungsi indra pendengaran bukan juga hal yang lucu. Abel memiliki masa kelamnya sendiri yang diliput banyak duka di usia anak-anak.

Selagi Abel bengong menatap lalu lalang transportasi, Seth hanya asik melahap makanannya tanpa banyak cakap.

Konversasi terjeda dalam beberapa menit lantaran puannya tidak ada yang buka suara memulai pembicaraan. Sekalipun ada banyak sekali yang bisa ditanyakan pada satu sama lainnya, Abel dan Seth lebih memilih untuk diam sementara. Rasanya waktu berjalan jauh lebih lama karena sunyi yang melanda.

"Ehm, No.. na?" Seth menaruh bungkus rotinya di atas meja kala Abel menengok ke arahnya. "Nama lo siapa?"

Bukannya menjawab, Abel malah melengos lagi menatap jalan raya. Raut wajahnya masih sama, nampak tidak baik. 

"Gue gak tau sih urusan lo sama Galuh dan Wanto itu apa. Tapi udah tau mau dibunuh sama mereka, harusnya gak usah keluar sendirian."

Ketika itu, suara kursi yang berdecit terdengar masuk ke telinga lantaran Seth menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Obsidian legamnya mengarah ke durja Abel yang nampak resah memerhatikan lalu lalang kendaraan, ia bisa melihat jelas jika mata Abel terlihat berbinar diselimuti sesuatu yang bisa saja keluar. Intuisi Seth bekerja kalau gadis itu sedang menahan tangisnya karena lama menunggu jemputan si kakak, atau paling parah, menangisi nasibnya yang begitu buruk malam ini.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang