11. Vokal Paling Bawah, Ayah

426 33 35
                                    

"Kalo di cerita-cerita novel, dia itu pasti tokoh utama yang punya banyak fans, pinter, tajir melintir, penerus perusahaan bokapnya, dan mantannya banyak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalo di cerita-cerita novel, dia itu pasti tokoh utama yang punya banyak fans, pinter, tajir melintir, penerus perusahaan bokapnya, dan mantannya banyak."
—Pengamat ulung


◀❇❇✳❇❇▶

Sebagai orang yang pengertian, Rani tak pernah mengerti dengan pepatah yang mengatakan 'hidup itu ibarat dunia yang berputar, bisa di atas atau di bawah'. Karena selama tujuh belas tahun hidup di dunia, gadis itu sama sekali tidak pernah merasa kaya.

Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi kebahagiaan bisa datang dari gepokan uang.

Sebagai seseorang yang bercita-cita menjadi pelukis, Rani memerlukan sejumlah uang agar punya fasilitas untuk melangsungkan mimpi tersebut. Tapi boro-boro beli kanvas atau cat warna, uangnya akan habis lebih dulu untuk bayar ongkos pulang-pergi ke sekolah. Dunia seolah tidak merestui Rani melakukan apapun yang ia mau hanya karena satu masalah, pasal cuan.

Dan karena ekonomi orang tuanya yang bahkan sulit menyentuh kata cukup itu, Rani sering kali iri kepada orang-orang yang bebas merencanakan mimpi dan cita-citanya tanpa kendala. Khususnya pada orang-orang yang lahir di keluarga kaya raya dan sangat berkecukupan, di pikirannya, sudah pasti orang-orang tersebut bisa menggapai mimpi sesuai apa yang mereka mau.

Seperti siang ini, Rani kembali menegakkan tubuh ketika dua kendaraan harga tinggi lewat di depannya menyapu angin. Kecepatannya cukup tinggi walakin hati-hati, baik yang Lexus LM ataupun Audi Q3 tengah mencari lahan parkir yang pas di gedung kesenian Jakarta.

Pasti anak Binar Raya, pikirnya. Memangnya siapa lagi kalau bukan mereka, sekolah itu bahkan terkenal dengan kehedonannya yang hakiki. Baik sekolah maupun pengungsinya sama-sama wangi uang jika lewat.

"Bentar lagi anak Binra ada yang pake helikopter," kata Nada yang sejak tadi ikut berdiri di sebelah Rani.

"Iri gak sih sama orang kaya?" Rani melempar tanya dengan nada murung. Mungkin, rasa iri dalam hatinya sudah tak bisa diukur lagi saking tamaknya. "Gue mau jadi orang kaya supaya gue bebas lakuin apa yang gue mau."

"Hidup lo tuh iri terus, bersyukur sedikit aja, kenapa sih."

Rani menoleh ke arah Nada dengan wajah cemberut. "Jangankan jadi orang kaya, jadi lo juga gue gapapa. Punya banyak uang buat jalan-jalan dan beli alat lukis."

"Nabung, Rani."

"Gue gak bisa nabung!!" sahutnya kesal, alis Rani menekuk sementara bibir bawahnya maju dibumbui kecemburuan. "Lo gak tau rasanya jadi gue, apa-apa berbagi dan harus serba hemat. Pantes aja pemulung selalu jadi pemulung, orang mereka gak punya waktu buat bermimpi."

Nada melengos seraya membuang napas panjang. Sahabatnya yang satu ini pesimis sekali, kerjanya hanya mengeluh dan mengeluh. Memerhatikan gelimpangan harta orang lain tanpa menengok potensi menggapai mimpi di sela-sela masalahnya.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang