20. Kunci Pertama

261 25 2
                                    

“Numbing the pain for a while will make it worse when you finally feel it.”
J.K. Rowling

⚠️physical abuse⚠️

◀❇❇✳❇❇▶

Setiap kali Jeno melihat punggung kokoh Sagara, rasa sentimen selalu meninju dirinya habis-habisan. Baik itu ketika Sagara mengenakan kaus hitam langganannya atau mengenakan seragam putih dengan beberapa lencana, batin Jeno tak pernah baik-baik saja melihatnya bercengkrama dengan papa atau mamanya.

Sebagai kakak laki-laki, Sagara tidak pernah menuntut Jeno untuk selalu bersifat maskulin sebagaimana presepsi masyarakat terbentuk. Yang dibilang lelaki tak boleh menangis atau mengalami emosi yang buruk, saat mereka didewakan atas kepercayaan gender yang kedudukannya lebih tinggi, serta melakukan hal-hal yang harus dilakukan dan menghindari kegiatan yang bersifat feminim.

Selain itu, Sagara juga tidak pernah meminta apapun kepada Jeno. Sagara menyayangi Jeno sebagaimana Jeno menghirup udaranya jika sempat, pria itu mencintai kejujuran jiwa dan potensi yang tersedia. Ia tak diminta mendapatkan nilai tinggi seperti apa yang ibunya mau, namun Sagara selalu bilang bahwa Sagara lebih bercita-cita bisa lihat Jeno bahagia dengan nasibnya sendiri.

Sagara adalah kakak yang sempurna untuk semua orang. Tapi entah apa alasannya, Jeno selalu tidak suka setiap kali Sagara berada di dekatnya.

"Kamu nanti mau kuliah dimana?"

"BIFA."

Sagara melirik sang adik dari sudut mata. Entah kenapa wajahnya mendadak sengau layaknya suasana hati yang konsisten berubah. "Abang nanya serius!"

Jeno mengernyitkan dahinya heran. Apakah ia terlihat sedang bercanda?

"Iya bener kok, aku mau lanjut di BIFA," jawabnya berusaha meyakinkan Sagara. Alih-alih bangga atau merestui, Jeno justru terheran-heran waktu Sagara hampir menggertak kepalanya dari belakang.

"Jangan di BIFA!" kata Sagara dengan nada tinggi. Pria itu merangkul Jeno sementara satu tangannya lagi menggaet koper hitam yang tidak terlalu besar. "Jangan jadi pilot."

"Emang kenapa?" Jeno bingung.

Sagara tak segera menjawabnya melainkan diam terlebih dahulu. "Ya jangan aja."

Di sepanjang keramaian bandar udara, dua saudara kandung tersebut tak meneruskan pembicaraannya hanya untuk beberapa saat. Jeno larut dalam ketidak pahamannya sementara Sagara tak memikirkan apa-apa selain penerbangannya ke Surabaya nanti.

Jeno pernah mendengar cerita tentang tuan dan puan yang saling cemburu pasal satu sama lainnya. Katanya saling suka, namun naif untuk mengakui rasa. Hingga puan mencari perhatian pada orang lain lalu kepala tuan berapi-api sendiri, si tuan pun berkamuflase jadi sosok lain untuk mencari perhatian. Lagi-lagi, naif dan ego mengalahkan semuanya hingga si tuan dan puan tak bisa menjadi diri sendiri.

Jika ditanya minat atau tidak menjadi seorang pilot, Jeno juga akan bingung menjawabnya. Mama Jeno bicara bahwa Jeno harus jadi pilot seperti Sagara. Lantas karena Jeno belum punya tujuan apapun soal masa depan, anak itu akhirnya berniat menyanggupi impian sang ibu pada anak bungsunya.

Toh, orang tua tak pernah salah dalam memberi harapan. Meski si anak sendiri sering kali membenci cara mereka untuk menyanggupinya.

Jeno menoleh sebentar ke arah Sagara yang fokus menatap ke depan. "Apa yang salah kalo aku juga mau jadi pilot, Bang?"

"Gak ada yang salah."

"Ya udah kalo gitu, aku mau jadi pilot."

"Jangan bilang itu sekarang, Jeno."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang