Sudah tiga minggu berlalu sejak Bu Anaya, pembina kelas musik memberi tahu kalau Reswara dan Jihan akan menjadi pasangan di kontes piano duet minggu depan, dua kepala puan itu sering meluangkan waktu untuk berlatih bersama. Latihan biasa dilaksanakan di ruang musiknya sekolah, kadang-kadang di kediaman Reswara jika sekolah sedang tutup.
Selama masa latihan itu, Reswara tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan Jihan sebagai perempuan dan laki-laki. Jenuh rasanya dianggap teman setelah satu tahun lamanya ia memendam perasaan, tidak ada salahnya juga Reswara lebih beringas dari biasanya.
Seperti sore ini, gadis itu masih bahagia seperti sebelum-sebelumnya saat bisa duduk berdampingan dengan Jihan. Empat pasang tangan berikut lihai menari di atas tuts piano mengeluarkan nada, Jihan menarik garis senyum kala permainan berakhir sempurna.
"Kalo capek bilang ke gue, nanti kita istirahat."
Sang nisa menengok ke arah lelaki yang hendak menenggak air mineral itu. Almamater yang menjadi ciri khas sekolah sudah tanggal disimpan ke dalam tas, kemeja putihnya dikeluarkan dari celana sementara dasinya kendur mengelilingi kerah.
Tampan sekali. Bahkan hanya dilihat dari samping pun, Reswara terpana akan parasnya yang rupawan.
Gadis itu langsung mengalihkan pandangan lalu berdeham singkat. "Main piano doang apa capeknya, aneh."
Raut wajahnya yang ganjil berhasil membuahkan senyum simpul di durja Jihan. Pria itu cengengesan, tak ayal ia menyapu muka Reswara dengan tangannya besarnya, hingga si gadis terperangah akan perbuatan itu.
"Muka lo mulus banget, pingin gue rayapin." Jihan mengambil ponselnya yang ada di meja seberang. Masih dengan bokongnya yang menempel di kursi panjangnya piano sekolah, ia menarikan jari-jemarinya di atas papan ketik dengan sisa-sisa senyum yang membekas.
Mama baru saja mengirim pesan. Katanya, beliau baru selesai masak salmon panggang untuk Jihan sang buah hati. Foto sup tengkleng khas Solo juga dikirim disertai ikon hati warna hijau, sebuah ikon yang sering Mama gunakan setiap kali ia saling mengirim pesan dengan Jihan.
Jihan pikir, ibunya merupakan sosok yang sangat ekspresif ke orang-orang sekitarnya. Sifatnya sulit diterka. Jika hari ini galak, bisa saja besok Mama menjadi orang yang penuh afeksi. Mama sering mengirim beberapa gambar yang tidak berguna ke kontak Jihan, begitu juga Jihan yang sering kali mengirim meme atau stiker yang cukup kurang ajar ke kontak Mama. Ujung-ujungnya, salah satu di antara mereka akan memblokir kontak dalam jangka waktu kurang dari sepuluh jam.
"Tumben Handaru gak ngintilin," ucap Jihan sembari menaruh ponselnya ke tempat semula. Ia menarik lagi botol minumnya kemudian meneguk air mineral tersebut hingga tersisa sedikit.
Reswara yang ada di samping hanya menekan beberapa tuts piano asal sambil mengedikkan bahu. "Ngambek dia, mau nyoba seblak tapi belum boleh sama Mami."
"Emang di tempat lo dulu gak ada seblak?" tanya Jihan dengan alis yang sedikit mengerut. Aneh juga saat pertama kali bertemu orang yang penasaran dengan seblak.
"Ada, tapi udah dimodifikasi. Pake tomat dan wortel lah, kecap lah, atau merangkap sop kerupuk."
Kalau tadi merasa aneh, kali ini Jihan terkejut. Sulit membayangkan bagaimana makanan tersebut hilang jati diri menjadi sebuah sop atau merangkap acar tomat dan wortel. Jihan bukan penikmat seblak, tapi ia tahu persis jika kekasihnya Jeno punya obsesi sendiri dengan makanan tersebut. Tapi jika dilihat lagi, ya wajar saja. Seblak dari Jawa Barat sedangkan tempat tinggal Reswara yang asli ada di Jawa Tengah, mengonversi beberapa kuliner tertentu sudah jadi hal biasa agar menimbulkan nilai tambah bagi suatu daerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...