35. Milan, Mendekati Mimpi

146 16 2
                                    

Manusia-manusia kulit pucat rambut pirang merupakan pemandangan yang baru pertama kali Jihan alami seumur hidup. Gedung-gedung gaya Eropa, jalanan bersih dari sampah, udara yang kelihatannya bersih dari asap kendaraannya. Apa yang sering Jihan lihat dalam serial Netflix kini bisa ia lihat secara langsung dengan mata kepala sendiri.

Alih-alih bahagia, Jihan justru merasa kosong. Rasanya ia sedang mengangkut sebuah batu besar yang harus ia letakkan tanpa tahu tempatnya, terus berjalan tanpa arah jelas, dan tidak akan pernah berhenti.

Benar-benar berat. Sumpah Demi Tuhan, perjalanan dari Indonesia menuju Italia adalah sesuatu yang sangat asing. Ada lelah, ada kekhawatiran, ada rindu yang rasanya tertinggal jauh di benua seberang.

New massage from Chandra

Perjalanan lo nggak nyaman karena ini bukan mau lo

Bibir Jihan cemberut membaca notifikasi yang muncul di layar ponsel. Pria itu menengok ke arah kanan, hanya untuk menemukan sosok pria paruh baya yang sibuk pada layar tabletnya mengurus pekerjaan. Tidak sampai dua detik, Jihan balik ke arah jendela dan melihat jalanan Milan.

Sudah sejak awal tidak merasa baik, melihat muka Ayah bikin segalanya jadi lebih hancur. Buset, sekental itu rupanya kebencian Jihan pada bapak sendiri.

"Lusa, saya sudah harus pulang."

Mungkin Ayah merasa kalau ia baru saja ditatap si anak, makanya pria itu ikut menengok sekilas dan langsung angkat suara di tengah sunyi. Sarah yang duduk di depan hanya melirik bosnya dari kaca.

"Saya sudah koordinasi dengan sekretaris bapak di kantor untuk mengosongkan jadwa—"

"Kembalikan seperti semula," titah Ayah tanpa menerima penolakan.

"Baik."

Ayah kemudian kembali menatap layar tabletnya seraya berbicara kepada Jihan. "Kamu mau pulang kapan?"

"Bulan depan."

"Nggak masalah."

Heran, permintaan tidak masuk akal pun bisa jadi sesuatu yang masuk akal di kepala bapak Ardian Pramono. Mata Jihan sama sekali tidak mengedip usai mendengar itu, diteliti lekat-lekat tubuh ayahnya yang proposional.

Sekalian minta apartemen kali ya, Jihan membatin.

"Kalau sampai bulan depan, saya punya apartemen di Niguarda."

Jihan tertawa kecil, "Nggak dulu deh, sampai minggu depan aja."

Hening lagi. Kendati ada empat insan dalam ruang beroda empat berikut, barang suara manusia pun tak menginvasi. Ayah berkutat dengan pekerjaannya, Sarah sibuk menahan lelap, pengemudi jelas tidak berminat ikut campur karena kendala bahasa. 

Bertepatan dengan itu, mobil menepi lalu berhenti di kawasan gedung tinggi nan besar gaya klasik. Hotel bintang lima jadi destinasi pertama yang dikunjungi. Jihan menemukan beberapa orang berseragam putih-hitam mengambil ancang-ancang ke mobil. Sarah turun lebih dulu, sementara penumpang yang di belakang dibukakan pintunya oleh orang-orang berseragam barusan.

"Piacere di conoscerla, signor Pramono." Pria lain yang mengenakan setelan jaz itu tersenyum ramah begitu Ayah dan Jihan berdiri tak jauh darinya. (Senang bertemu dengan anda, pak Pramono)

"Entra, ti abbiamo preparato una stanza." (Masuklah, kami telah menyiapkan kamar untukmu)

Entah bagaimana, Jihan merasakan sesuatu yang aneh dari pria itu. Penampilannya lebih mirip orang Asia alih-alih Eropa, kendati matanya biru dan rambutnya cokelat terang. Kalau dikira-kira, tinggi badannya sekitar 175 sentimeter. Hampir 15 senti lebih rendah dari Ayah.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang