31. Mimpi Tak Tercapai

230 21 16
                                    

Kita semua gagal
Ambil sedikit tisu
Bersedihlah secukupnya
Secukupnya kan masih ada
Penggantinya belum waktunya kau bisa
—Hindia

◀❇❇✳❇❇▶

Pada setiap kompetisi, ada tiga fase yang dilalui para pesertanya dari tahap ke tahap. Yang pertama, perjuangan yang dilapisi gugup sekaligus sisi ambisius. Yang kedua, perasaan dimana terletak secuil kepasrahan di tengah asa yang berapi-api, biasanya saat perjuangan tersebut telah mencapai titik akhir dan tak bisa direvisi lagi. Yang terakhir, keberanian besar untuk menduduki posisi yang dimau menjelang pengumuman.

Menurut Reswara sendiri, seleksi nasional yang ini sudah menegangkan meski tak semua siswa kelas dua belas turut serta. Setiap sekolah maksimal mengajukan empat puluh persen siswa terbaiknya untuk maju ke lapangan. Selain keakraban terhadap nilai-nilai yang dicantumkan, strategi dan keberuntungan harus ikut menuntun ke keberhasilan.

Buah-buahan yang sering Reswara konsumsi di jumat sore mendadak terasa asing lantaran kepalanya terus memberi segala kemungkinan yang ada. Dua laptop yang menampilkan situs pengumuman SNMPTN menyemburkan ribuan kekhawatiran pada si kembar Raden, tangan Reswara dan Handaru saling berkaitan menyalur kekuatan.

Baru pertama kalinya, Reswara merasa se-deg-degan ini tentang sekolah. Terakhir kali ia mengikuti alur PPDB, anak itu masih bisa santai lantaran menganggap tes masuk Binar Raya masih bisa diatasi.

Handaru meraih potongan persik kemudian memasukannya ke dalam mulut. Lain dengan si kakak, pria yang satu ini masih bisa mengendalikan detak jantungnya yang mau loncat keluar badan.

"Sisa berapa menit lagi, mbak?" tanya Papi pada Reswara.

"Tiga menit lagi," jawab Reswara. Ia memerhatikan setelan baju kedua orang tuanya yang baru saja tiba dari Semarang. "Mami sama Papi ganti baju dulu aja, mesakne aku weruh sampeyan kesel." (Kasian aku ngeliat kalian capek)

"Mboten kesel o." Mami berkata seraya mendaratkan bokongnya di sofa dekat anak-anaknya duduk. (Nggak capek kok)

Jarum pendek masih menunjuk ke arah dua kala Handaru meliriknya dari ruang keluarga. Belum ada tiga puluh menit Papi dan Mami tiba di Jakarta, pekerjaan yang ada di Semarang tak bisa ditinggalkan terlebih lagi pesawat yang mereka tumpangi mengalami keterlambatan lepas landas.

Di atas meja sudah ada dua laptop dan sepiring potongan mangga. Jam setia mengeluarkan bunyi perdetiknya sebagai pengingat bahwa waktu terus berjalan. Semakin lama, mangga manis itu tidak terlihat menarik karena suasana hati si kembar semakin campur aduk.

Reswara tidak tahu ada berapa ribu pelajar yang ikut serta memerhatikan waktu dan layar pipih berikut bersama senandung doa yang dilantunkan. Sekali lagi ia mengungkit fakta bahwa presentase gagal jauh lebih besar berdasarkan mayoritas siswa. Meski demikian, ia tidak bisa tutup mata soal asa yang melambung. Yang namanya Raden Ayu Neli Julia Reswara dan Raden Mas Eguin Handaru Wijaya harus berhasil pada tahap yang dilalui.

Sisa tiga puluh detik lagi, Handaru dan Reswara kompak pindah tempat dari ujung ke ujung. Dua bocah itu saling bersemuka sebelum timer mendeklarasikan waktu telah habis.

Jari-jari itu kembali bergemulai di atas benda pipihnya, orang tua si kembar berpencar. Mami kepada Reswara, sementara Papi pergi ke tempat Handaru.

"Suek! Kok aku buffering sih," eluh Handaru sambil gigit jari. Sayup-sayup telinganya menangkap suara ayahnya yang menyebutkan pujian-pujian pada Tuhan, tangan Papi merayap di pundak kanan Handaru.

Tepat setelahnya, tampilan layar langsung berubah jadi yang dinanti-nantikan. Mayoritas warnanya biru, terdapat ucapan formal dari pihak penyeleksi dan nama lengkap Handaru di sana. Pada pilihan pertama, tepatnya ilmu politik di universitas Jawa Barat.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang