25. Bukan Lelucon

220 25 2
                                    

Untuk hati yang terluka
Tenanglah, kau tak sendiri
Untuk jiwa yang teriris
Tenang, ku kan temani
—Isyana Sarasvati

◀❇❇✳❇❇▶

Sudah sepuluh menit Jihan melihat pantulan dirinya sendiri di cermin kamar mandi, pria itu tak kunjung menggerakkan kakinya ke tempat tidur. Waktu belum terlalu malam, jarum jam masih menunjuk ke angka sembilan. Entah apa yang ia lakukan di kamar mandi setelah cuci muka dan sikat gigi, Jihan justru termenung mengamati wajahnya sendiri dengan pikiran bercabang.

Selain Jihan yang asli, ada pula kepribadian lain yang menempati tubuh kokoh ini.

Jihan bukan golongan manusia yang menilai kepribadian seseorang berdasarkan bentuk wajahnya, dan Jihan bukanlah pakar wajah yang selalu tepat terkaannya. Namun setiap kali ia menyeletuk tentang tampangnya yang menyedihkan, Jihan rasa itu adalah salah satu fakta yang baru terkuak dua minggu lalu.

Alias, Jihan benar-benar jadi menyedihkan setelah dokter Liu membicarakan tentang dissociative identity disorder, salah satu penyakit mental dimana penderitanya tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Jihan memiliki sosok lain yang hingga kini belum ia ketahui, anak itu serta merta punya sesuatu yang seharusnya tidak dimiliki siapapun.

"Lo bangsat banget," kata Jihan di tengah kesunyian. Entah kalimat itu tertuju pasti kepada siapa, netranya fokus menatap pantulan wajahnya sendiri di cermin.

Anak itu mendengus. "Ngerepotin."

"Bencana, monster, pembawa sial."

"Tanpa adanya dia pun, kamu udah jadi monster dan pembawa sial."

"Adanya kamu itu bencana, Jihan."

"Itu buat diri kamu sendiri, bukan orang lain."

Di tengah pikiran bercabang tersebut, Jihan mendengar banyak sekali balasan berwujud fiktif. Bibir Jihan seketika cemberut, tatapan matanya berubah semakin menyedihkan.

Iya, ya. Jihan asal berbicara tanpa berintropeksi lebih dulu.

Sudah lama sekali Jihan tersiksa dengan suara-suara tersebut, namun bibirnya selalu risau setiap kali balik menyuarakannya ke pihak bersangkutan. Mengadu ke Mama, ke psikiaternya, hingga dirinya sendiri pun masih denial menerima suara tersebut. Hal yang biasa ia lakukan setiap kali wujud-wujud palsu tersebut datang hanya memukul kepalanya bertubi-tubi berharap semuanya hilang.

Jihan mencemaskan banyak hal. Bukan hanya tentang alter ego yang sampai sekarang belum ditemukan, tapi tentang kekhawatirannya untuk menggapai mimpi yang terhalang.

Semenjak Ayah mengirim Sarah ke rumah, Jihan tidak pernah leluasa buat bergerak. Pergi pulang selalu diantar Sarah, meneror pintu kamar setiap les bahasa Italia akan dimulai, serta membawa beberapa berkas dasar tentang bisnis dan perusahaan ke rumah.

Dengan adanya eksistensi gadis rupawan itu di hidupnya, Jihan tentu was-was belajar materi ujian masuk universitas negeri. Anak itu merasa bahwa apa yang ia pilih sepuluh kali lipat jauh lebih penting daripada pilihan Ayah, meski sampai hari ini ia masih berjalan sendiri tanpa Mama di sebelahnya.

Jihan menumpu tubuhnya dengan kedua tangan yang disandarkan ke pinggiran wastafel. "Andai lo pinter dan bisa jadi tameng, gue mungkin merasa terbantu, Alteries."

Jihan ingin mengharapkan jawaban dari ucapannya barusan. Tapi bila mana sungguh-sungguh ada yang menjawab, anak itu mungkin akan menjerit sekencang-kencangnya dan tak tidur semalaman.

"Gue tau lo udah bikin banyaaakkk bangeett masalah yang akibatnya ditanggung sama diri gue yang asli. Entah apapun itu. Tapi tolong ya, Alteries, gue udah sadar kalo lo ada sekarang, lo harus lebih berhati-hati dalam bertingkah."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang