close my eyes and I can see
The world that's waiting up for me
That I call my own
Through the dark, through the door
Through where no one's been before
But it feels like home
—Ziv Zaifman◀❇❇✳❇❇▶
Jihan sengaja memilih pusat UTBK terdekat yang masih ada di kawasan Jakarta. Jaraknya kurang dari sepuluh kilometer dari rumah, tak perlu berangkat super duper pagi mengingat lokasinya masih di kawasan sama. Namun karena Jihan memiliki beberapa faktor yang tak bisa disamakan dengan kebanyakan orang, diperlukan sebuah pengorbanan terakhir sebelum keikutsertaannya dalam SBMPTN selesai.
Manajemen waktunya; pukul tiga pagi pergi ke lokasi tes, pukul tujuh kurang lima belas menit sampai pukul sebelas tinggal di lokasi dan mengerjakan ujian, lalu pulang ke rumah sebelum jam tiga sore, lalu bergegas siap-siap berangkat ke Milan. Hari ini memperjuangkan mimpi sendiri, maka lusa mengikuti keinginan Ayah.
Syaratnya, tak boleh ada suara.
Jihan membalas pelukan hangat Mama lewat kecupan singkat di dahi.
"Good luck, ya." Mama mengusap punggung Jihan berulang kali.
Lelaki itu mengangguk disertai senyum manisnya, netranya syahdu memerhatikan presensi sang ibu yang masih mengenakan setelan piyama satin. Karena tak mau berlama-lama, Jihan segera merotasikan bola matanya ke arah Sigra yang terparkir di sisi depan rumah yang rimbun.
Saat pintu dibuka, Jihan lagi-lagi menengok ke tempat Mama. Jihan nyaris larut dalam pikiran sendiri lantaran meninggalkan Mama sendiri di rumah bersama Ayah---kendati ia justru melakukan perbuatan terlarang dari Ayah.
Bagaimana kalau Jihan gagal dan Ayah mengetahui kepergiannya?
Bagaimana kalau Mama dipukul Ayah karena membiarkan Jihan pergi?
Bagaimana kalau semua rencananya berakhir sia-sia hanya karena celah tak terbaca?
Keadaan mungkin tidak lagi seburuk dulu di mata Mama. Suasana mulai tentram, tentram dalam penilaian Jihan dan Mama. Maka sudah sepatutnya ia menjaga ketentraman sang ibu atau malah membawanya kepada ketentraman yang lebih layak lagi.
"Kenapa lagi, Ji?"
Suara Mama spontan menyadarkan lamunan Jihan. "Kalau gagal gimana, Ma?"
Kedua alis Mama mengerut. "Tiba-tiba banget. Kenapa nggak mikir kalau kamu berhasil aja?"
"'Kalau gue berhasil, gue bisa lanjutin kemauan gue buat jadi Joe Hisaishi jilid selanjutnya. Kalau gue berhasil, gue bisa banggain Mama'." Wanita itu berjalan mendekati anaknya seraya mengimbuh. "Belum apa-apa aja Mama sayang, apalagi kalau udah jadi apa-apa."
"Mamaaa...."
Loh kok merengek?
Mama segera membuka pintu lebih lebar lagi dan melayangkan tatapan galak pada Jihan. Satu tangannya mendarat di pundak Jihan, hanya untuk dicengkeram menyalur gairah. "Kamu ini kenapa, sih? Udah, buruan berangkat! Bapaknya nungguin, tuh."
Kemudian Jihan mengikuti arah pandang Mama ke supir ojek online pesanan Jihan. Jihan tak bisa berbuat banyak saat cengkeraman kuat Mama memaksanya masuk ke dalam mobil lalu pintu ditutup kuat-kuat.
Mama beralih ke jendela bagian depan, ia mengetuk kaca tersebut sampai supir membuka jendela mobil. "Pak, kalau anak saya ngomong yang macem-macem, diemin aja. Dia stress."
"Astaghfirullahalazim..." Jihan menyahut sambil geleng-geleng kepala. "Bohong itu, hoax."
Mama terkekeh pelan. Jihan lucu, apalagi dengan kata-katanya yang terkesan bercanda meski raut groginya tak bisa membohongi mata. Aduhai, ternyata begini tercintanya menanggapi keseriusan cintanya pada hal yang dicintai. Keterkaitan komplementer antara Jihan dan irama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...