Tenangkan hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan takkan terjadi
—Kunto Aji◀❇❇✳❇❇▶
Hari kelima ujian, Jihan tidak menaruh banyak ekspetasi atas nilai-nilai yang akan diperolehnya nanti. Pria itu sudah pasrah, dan usahanya untuk mendapat nilai bagus pun tidak besar.
Jihan ada di jalur yang salah dalam tahap ini. Dimana dirinya sama sekali tidak menemukan semangat belajar hingga enggan mengulas materi lebih dari sepuluh halaman, suasana rumah yang sama sekali tidak membuat tenang, juga beberapa tekanan lain yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi asing yang membawanya ke posisi tidak nyaman. Tiga hal itu membuat Jihan mau tidak mau terjebak di ambang kesulitan saat mengerjakan ujian.
Jihan pikir, selain dilahirkan sebagai orang bodoh, ia juga dilahirkan sebagai orang yang tidak bisa memiliki ambisi untuk menjalani hidup. Anak itu selalu mengikuti arus membawanya pergi ke sembarang tempat. Jika hoki ke tempat yang indah, jika tidak hoki Jihan akan dibawa ke tengah samudera yang gelap.
Siapapun yang hanya mengikuti arus pergi sudah seharusnya tidak berharap lebih. Bila masa kapal membawanya ke badai mematikan, itu merupakan salah satu konsekuensi yang harus didapat-yaitu kesulitan bergerak menyelamatkan diri. Harusnya intropeksi, sebab dari awal pun ia tidak punya ambisi untuk menentukan mau kemana kapal yang ditumpanginya akan pergi.
Di meja kantin yang posisinya tepat berada di tengah ruangan, Jihan duduk bersama teman-teman yang sedang tertawa riang. Di depannya ada Arjuna yang tengah melahap cream soup kepiting sembari cengengesan, pria itu terlihat sangat santai dan tenang menikmati makanannya.
"Tadi ulangan pada bisa gak?" tanya Jeno lalu memasukan potongan daging sapi yang disiram saus barbeque ke dalam mulutnya.
"Jangan ngungkit itu ya Jen, males gue," jawab Chandra. Raut wajahnya yang tadi senang spontan berubah ketika Jeno mengungkit perihal ujian yang membuat otaknya mati rasa.
Jadwal ulangan hari ini ialah kimia dan bahasa Inggris. Dua-duanya adalah materi yang paling Chandra tidak suka, anak itu selalu sewot setiap kali dihadapkan dengan materi hitung-hitungan.
Sedangkan Arjuna tertawa kecil melihat Chandra merana. "Lo gak belajar, segala ngeluh ulangannya susah. Harusnya sadar diri."
"Lo bisa, Jun?"
"Bisa."
Jihan yang sejak tadi menyimak meneguk teh hangat yang ada di meja. Netranya masih terpaku kearah Arjuna, memandang pria itu lamat tanpa mengeluarkan sepatah kata. Suaranya seolah-olah habis, tenggorokan Jihan gatal setiap Jihan bicara. Semalam, anak itu terlibat perseteruan yang kesekian kalinya dengan Ayah. Masih kalah telak, Jihan justru terisak-isak meminta pertolongan karena Ayah kembali menggunakan cambuk untuk memberi pelajaran.
"Yang pinter mah enak ya, gak belajar juga pasti nilainya bagus," ucap Jeno sambil tersenyum skeptis. Ia memangku wajahnya ke atas meja kemudian menghela napas panjang, "Gue mau jadi kayak Arjuna."
"Si Allen juga sama, pinter karena ngambis."
Allen menyengir lebar. "Makanya belajar beneran, jangan ngomong doang."
Paguyuban Sahabat Sejati memiliki dua oknum yang berhasil masuk ke peringkat sepuluh besar paralel. Arjuna yang memang sejak kecil pintar, dan Allen yang tak pernah melupakan kewajibannya sebagai pelajar.
Jeno juga sangat giat belajar seperti Allen, tapi hasilnya tak menimbulkan perubahan drastis. Bahkan peringkatnya lebih sering turun dibanding naik.
"Kalo Arjuna tuh pinter emang dari bapaknya gak sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...