29. Paling Esa di Dunia

224 20 4
                                    

Tapi menurutku Tuhan itu baik
Merangkai ceritaku sehebat ini
Tetap menunggu dengan hati yang lapang
Bertahan dalam macamnya alur hidup
Sampai bisa tiba bertemu cahaya
Feby Putri

◀❇❇✳❇❇▶


Jihan baru selesai konsultasi dan menjalankan terapi jam tiga sore. Di dalam Audi Q3-nya, anak itu mengamati lembaran informasi pemberian Sarah. Tatapannya semu, bercak kejelian banyak menjejaki raut matanya.

Ditemani kesendirian, dipeluk oleh sepi yang mengoloni. Suhu pendingin mobil disetel menuju terendah, Jihan sama sekali tidak kedinginan kendati boomber hitamnya dilepas menyisakan kaus hitam tipis.

"Semenjak didiagnosa, aku belum pernah nangis sekejer dulu. Aku inget pas tahun baru kemarin, aku berani lakuin apapun demi bisa lepasin banyak hal yang beratin pikiran aku. Aku minum susu kadaluwarsa lagi, aku biarin tangan dan kakiku berdarah, aku nikmatin dadaku yang saat itu sesak banget. Ternyata dulu sedepresi itu sama Ayah. Aku cuma mau mati biar bebas dari Ayah, aku nggak lagi peduliin perasaan Mama kalau aku hilang dari dunia. Aku cuma mikirin diriku sendiri saat itu. Jadi alasan aku nggak pernah nangis sehebat kemarin.. Mungkin itu karena aku lebih dulu mendramatisir keadaan sampe diriku sendiri juga capek, dan untuk sekarang, aku udah kurang peduli lagi tentang apa yang terjadi sama diriku sendiri."

Ada banyak sekali ingatan-ingatan lama yang mampir di benak Jihan. Saat Mama membawanya pergi ke Pantai Anyer sambil membicarakan banyak hal tentang masa kecil Jihan, saat Paguyuban Sahabat Sejati memergoki luka-luka di tubuhnya dan menahan tangis bersama-sama, saat Mama bilang kalau Jihan bisa menjadi pencetak rekor orang pertama yang sembuh dari kepribadian ganda. Masih banyak ilusi-ilusi lainnya yang datang, keberagaman itu mampir secara bertubi-tubi. Saking banyaknya yang datang, pemilik suara melengking di kepalanya sampai terusik dan berteriak kuat-kuat.

Tangan Jihan melayang untuk memukul kepalanya sendiri. "Diem, monster bangsat."

Dari kemarin, Jihan terlalu sibuk membayangkan nasibnya yang semakin menyedihkan dan terus membenci si alter ego. Tapi setelah pertemuannya dengan dokter Liu kali ini, Jihan baru benar-benar sadar kalau akan ada banyak sekali yang terhalang akibat kehadiran Seth.

Mimpinya sebagai musisi, ketenangannya sebagai manusia, serta menyempitnya kesempatan Jihan untuk meraih mimpi. Seth itu palsu, Seth mungkin sebatas alter ego. Jihan tidak menaruh semua kepercayaannya kepada selembar kertas berisi data diri Seth sebab Jihan pikir, sesuatu yang berilusi tidak memiliki bentuk yang spesifik.

Walau Seth Yves Julien ada, tuannya tetap Yasodana Jihan Amerta. Walau tuannya Yasodana Jihan Amerta, masih ada kutipan invasi dari mereka yang tahu titik celah.

Peratapan nasib tersebut berakhir dengan terciptanya bulir-bulir air di mata Jihan. Bibir Jihan melengkung ke bawah, suara isakan pelan-pelan mengudara di kabin roda empat tersebut.

"Sial banget nasib gue."

Jihan bingung mau kemana lagi ia melampiaskan kekecewaannya, siapa lagi yang perlu ia salahkan dan apalagi yang harus dilukai. Mau semarah apapun Jihan ke semesta, segalanya sudah terlambat dan tak bisa diubah. Apa yang Jihan benci tidak akan pergi, apa yang Jihan sukai tidak akan kembali ke dalam diri.

Pria itu menjatuhkan kepalanya ke stir mobil dan menangis terisak-isak, ia meremat kertas di tangannya. Bagi Jihan, tidak ada yang lebih pedih selain bertambahnya dosis obat dan saran panjang dari dokter spesialis jiwa.

Bahteranya sebentar lagi akan tumbang. Tanpa diguyur ombak, tanpa harus menggerogoti kulit sendiri, penjelajah yang terjebak di samudera itu akan mati di tangan makhluk tak berbayang.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang