Bagi Ayah, tidak ada hal sulit di dunia ini. Mengatur skenario terkait istri keduanya dan eksistensi Jihan di depan orang-orang yang tidak layak tahu identitas mereka berdua, merotasikan orientasi Jihan agar menjalani hidup yang lebih layak, apalagi sesepele mencari tahu siapa itu Nada Alishia Fransisca.
Belum lama ia meminta orangnya mencari tahu, Ayah sudah bisa mengirim berbagai fakta ke surel Mama. Wanita itu langsung meneleponnya dengan nada merengut, entah karena tidak Terima anaknya dihancurkan oleh Nada atau karena Ayah berhasil membuktikan bahwa dugaannya terbukti valid. Mama ingin memastikan banyak hal secara langsung kepada Ayah tanpa perantara telepon.
Dan kini, tidak ada pertemuan di kantor ataupun di rumah sakit, Ayah bisa mendapati amarah tertahan milik Mama di ruang kerjanya di rumah. Langkah kakinya begitu tegas saat mendatangi ruang kerja, dia menatap Ayah sangsi. Emosinya kian meluap-luap saat melihat si adam duduk santai di balik meja kerja.
"Saya udah bilang, Nada pasti punya hubungan dengan Liu Fransisca." Pria itu menyandar ke punggung kursi selagi netranya menatap Mama rendah. "Kredibilitasnya sampah. Dokter gadungan."
Wanita itu mendengus, seolah membuang sebagian kecil kekesalannya yang memuncak- hanya untuk membuat Ayah tersenyum miring dari tempatnya.
Mama benci ini. Mama benci sekali dengan fakta ini, fakta bahwa sesungguhnya ia telah memberikan seluruh kepercayaan kepada sosok yang rupanya menjadi penghancur bagi anaknya. Dia menyembuhkan dan menyakiti secara bersamaan. Apapun yang Mama ketahui tentang Liu Fransisca mendadak terbesit, minta dikritik lebih jauh.
Baru beberapa jam yang lalu, Mama menerima sebuah surel keterangan antara Nada Alishia Fransisca dan Liu Fransisca. Tak cuma itu, Mama bahkan dipertontonkan bukti foto dimana seorang Nada mengunggah utas tentang Jihan di forum. Terdapat lampiran lain tentang ponsel Nada yang menampilkan foto laporan kesehatan Jihan. Potret ponsel itu didapati saat Nada hendak mengunggah cuitan.
"Saya kasih kamu pilihan; tuntut sekolah atau tuntut Liu Fransisca."
Alih-alih menjawab, Mama justru menekuk kedua kakinya kemudian menjatuhkan kepalanya ke tepi meja kerja. Wanita itu menderukan napasnya yang terasa sangat berat.
"Sebentar. Aku capek banget." Punggung Mama bergerak intens satu kali atas helaan napasnya.
Ayah mendecih sinis, ternyata ada orang yang mengeluh saat balas dendam. Wajahnya tak bisa diteliti lantaran ia menunduk, gerak pernapasan menunjukkan bahwa ada banyak beban di punggung itu. Meski demikian, yang paling mewakili emosi adalah buku jarinya yang kuat tepi meja sampai memutih.
"Cepet," tukas Ayah.
"Sebentar.."
Bibir Ayah lantas mengatup usai melirik ke arah jam dinding. Ia melemaskan sendi-sendinya, menatap ke atap ruang kerjanya dengan beragam hal yang pada akhirnya akan ia tunaikan. Pekerjaan belakangan ini terasa lebih pelik, ada ratusan dokumen yang harus ia jamah. Tidak ada lagi waktu istirahat dalam berpikir, tidurnya tak pernah nyenyak pasca itu.
Sementara Mama masih memendam seluruh perasaan berkecamuk, Ayah justru mengetuk jari telunjuknya ke kursi. Ketukan ganjil penuh keraguan, ketukan genap melambangkan kepastian.
"Mas Ardian."
Namun entah pada ketukan yang ke berapa, segalanya buyar saat si nisa memecahkan fokus berpikirnya. Pria itu tanpa sadar menatap intens wajah Mama yang hanya terlihat sebatas mata, kedua tangannya masih bertahan ke sisi meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...