Pukul 15.03
Abel yang mulanya memejamkan mata membuka satu persatu matanya di depan layar laptop yang menyala terang. Bibirnya mengulum rapat, jantungnya berpacu cepat, begitu pula dengan kaki dan telapak tangannya yang dingin.
Pelan-pelan dibuka, ketika intensitas cahayanya menusuk mata, binar bohlam penglihatan itu berpijar terang diselingi rasa asing.
Selamat! Anda dinyatakan lulus UTBK SBMPTN
Arabella Benazir Wanetta
Hukum (S1)
Universitas Gadjah Mada"BUNDAAAA!" Abel mundur dari kursinya kemudian berlari cepat keluar kamar. Tangan Abel gemetar membuka kunci pintu kamar tersebut, matanya berkaca-kaca. "BUNDA! BUNDA, BUKAIN PINTU!"
Suara pintu yang diketuk masuk ke indra pendengaran. "Abel! Kamu yang kunci pintunya sendiri!"
Meski kejadian berikut merupakan kejadian terkonyol yang pernah Abel lakukan, tetap saja gadis itu dibawa terbang bahagia terbesar sepanjang hidupnya. Percobaan harus dilakukan sebanyak dua kali sampai akhirnya pintu benar-benar terbuka oleh dirinya sendiri. Di depan pintu, sudah ada Bunda dan Yanda yang ikut berbinar menanti kabar.
"Aku lolos pilihan pertama!" Gadis itu berhambur memeluk kedua orang tuanya. Air matanya tanpa sadar turun ke kantung mata kemudian mengalir membasahi pipi.
Yanda balas merengkuh pundak kecil anak gadisnya kemudian mengecup kening Abel. Raut mukanya berubah intens, sangat bersukacita dengan keberhasilan sang anak yang selama ini diperjuangkan.
"Selamat ya, anakku.." Kecupan itu datang bertubi-tubi.
Bunda menjauhkan pundaknya dari wajah Abel lalu tersenyum bangga. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipi Abel. "Selamat, Abel."
"Aahh.. Sedih..." Abel mendongak, seolah-olah sedang mengendalikan emosi agar air matanya tak lepas lagi dari kendali.
Bunda mempertahankan tangannya di pipi Abel, wanita itu tetap tersenyum cerah. "Kenapa sedih? Harusnya seneng, dong."
"Gapapa." Abel menggeleng kecil. "Keinget aja susahnya belajar buat ini kemarin."
Bukan hanya itu, Abel juga menyadari kalau setelah ini, ia akan berjuang sendirian di kota orang dan jauh dari keluarga. Abel akan melakukan semuanya sendiri. Abel hidup di tempat baru, Abel tidak bisa menyergap lengan kokoh yanda, bunda, atau kakak laki-lakinya yang siaga. Hanya ada Abel yang bisa diandalkan.
"Kamu nggak perjuangin hal yang sia-sia, kan?"
Gadis itu sekadar tersenyum teduh. Kecupan datang lagi dari sang ibu, menjerumus ke pipi kanan, pipi kiri, kening, dan ujung hidungnya sebelum keduaya kembali berpelukan hangat.
"Adek udah kabarin Mas Edwin belum?" tanya Yanda.
Abel menggeleng. "Sebentar, Nda. Aku ambil HP dulu."
Abel kembali masuk ke dalam kamar untuk meraih ponselnya yang ada di atas meja. Layar ponsel sudah menyala ketika ia menggenggam gawai, notifikasi chat terus masuk dari grup obrolan Berdarah. Abel tak menghiraukan pesan-pesan baru itu dan langsung memulai percobaan panggilan video Edwin.
"Edwin hari ini pulang jam berapa ya?"
Utas pertanyaan tak terjawab itu langsung disambut oleh panggilan yang terhubung. Layar ponsel Abel kini diisi oleh wajah Edwin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...