40. Masalah Tidak Berhak Bahagia

124 16 3
                                    

Benar rupanya. Sekali kecewa, selamanya akan tersua.

Melihat lelaki itu masih berdiri di koridor rumah sakit sambil bermain ponsel saja membuat Krisan sulit merasakan apa yang sedang terjadi dalam kepalanya. Segala sesuatu tentang dia rancu. Marah, kecewa, berbelas kasih bergugus menyawakan perasaan asing.

Krisan melangkahkan kakinya menyusuri lorong sepi tersebut. Sisa beberapa langkah lagi, Seth yang tadinya fokus pada ponsel akhirnya menoleh saat merasakan ada seseorang menghampirinya—tapi justru sebuah tamparan dahsyat mendarat di wajah.

Pria itu spontan memegang durja kanannya dengan alis menukik, "Dat—"

"Dulu lo buat bunda gue pergi, sekarang lo mau bunuh ayah juga?! Lo sengaja bikin gue sebatang kara?!"

Seth menarik lagi kata-kata yang hendak ia ucapkan, meneliti seberapa besar kadar kebencian yang gadis itu tunjukkan lewat tatapan tajam. Entah sejak kapan ia sampai di Indonesia, namun apa amarahnya belum juga hilang ditelan waktu perjalanan pulang?

Sementara di posisi Krisan, ia semakin dibuat kehilangan akal melihat reaksi Jihan—Seth yang cenderung normal. Tidak ada tampang merasa bersalah di sana, ia hanya melindungi pipi bekas tamparan seraya menunduk menatapnya.

Krisan ingat sekali. Ia sangat ingat bagaimana Ayah yang dulu mencintainya berubah seratus delapan puluh derajat semenjak mama Jihan datang meminta pertanggungjawaban berupa ikrar suci dan biaya hidup. Karena Jihan, keluarga Krisan hancur. Karena Jihan, ibu dan ayahnya berpisah. Karena Jihan, Krisan dipukul Ayah. Karena Jihan, Krisan sakit kehilangan kebahagiaan terbahagianya.

Kepalan tangan si nisa meninju dada adam di hadapan. Ia menarik kaus Seth dan bicara, "Gue yang anak kandung dari orang yang pernah dia cinta aja nggak pernah celakain dia—sekalipun gue benci Ayah. Lo pikir lo istimewa, hah?!"

Seth melepas cengkeraman tangan Krisan di kausnya. Anak itu masih mengunci mulut, kendati pikirannya sudah membantah pernyataan Krisan. Jika memang tidak istimewa, lantas kenapa anak lemah ini senantiasa terikat dengan segala bisnis dan warisan terbesar di masa depan?

"Lo...." Krisan berusaha mengendalikan suasana hatinya yang carut-marut. Napas gadis itu berhenti sejenak. ".... Harus sadar kalo lo lahir dari kesalahan."

"Lo nggak pernah diinginkan, Ji. Jangan bikin orang yang terluka sama keberadaan lo tambah parah lukanya."

"Dan jangan cari kebahagiaan kalo diri lo sendiri yang jadi masalahnya, nggak ada masalah yang boleh bahagia."

Sekali kecewa, selamanya tersua.

Jangan percaya pada orang yang bergabung dalam frekuensi pemberi luka sadis. Mereka tidak akan berhenti membuat luka itu kering.

"Maaf."

Hanya itu yang Krisan dengar dari mulutnya, mulut pria yang raut wajahnya mulai berubah jadi penuh penyesalan. Pandangan Krisan memburam, wanita itu memejamkan matanya menahan bulir air turun dari sana.

Sembari merelaksasikan pernapasan, ia menyembunyikan dua tangannya ke belakang. Tangan itu mengepal hingga buku jarinya memutih, wanita itu berusaha menyembunyikan kekhawatirannya terkait ilusi makhluk yang telah lama pergi kembali muncul di belakang Jihan.

"Maaf nggak akan bikin kesalahan lo hilang," ujar Krisan. Setelah itu, ia mengambil dua langkah ke depan dan meraih kenop pintu kamar inap ayahnya.

Saat pintu dibuka, Krisan melihat Ayah, Mama, dan beberapa petugas medis sedang berdiri di seberang brankar. Perawat mengganti cairan infus lama dengan cairan infus baru, sementara laki-laki berjas putih terlihat menyampaikan sesuatu kepada Mama dan Ayah.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang