42. Interpretasi Khalayak Juri

139 14 1
                                    

Sekedar berandai menetapi diri ini
Berpencar pergi tuk mencari apa yang lama dicari
Pergi tanpa pamrih pergi tanpa pamit akan
Ke sana kemari tanpa arah serta ratusan makian
—Suara Kayu, Feby Putri

◀❇❇✳❇❇▶

Setelah keputusan yang mereka buat kemarin, kedatangan Jihan ke sekolah pada pagi hari ini jelas membuat Paguyuban Sahabat Sejati menghela napas lega. MINI Cooper yang berhenti tepat di batas antar jemput siswa lalu menunjukkan eksistensi Jihan dari bangku penumpang disambut ramah oleh Chandra dan Arjuna. Gawai yang berada di dekat telinga Arjuna juga pasti tersenyum andai kata barang itu punya mulut, ditularkan rasa lega dari penelepon di seberang.

Jihan menaiki satu persatu anak tangga untuk tiba di pintu utama sekolah. Lelaki itu tersenyum lebar, "SBM lancar, Jun?"

Senyum ramah Arjuna punah. Anak ini rupanya tidak jauh berbeda dengan Chandra—malah lebih parah. Baru juga datang, sudah langsung menanyakan fase kematian beberapa hari yang lalu.

Tidak jauh berbeda dengan Arjuna, Chandra yang terkejut dengan pertanyaan Jihan kontan menengok dengan mata melotot. Ia menunjuk Arjuna, "Tuh kan! Tuh kan!"

"Tuh kan apa?!" seru Arjuna galak.

"Tuh kan nanyain UTBK!" kata Chandra tidak kalah tinggi. Masih dengan mata yang membulat, pria itu beralih menatap Jihan. "Bayarin ujian mandiri gue, ya, Ji!"

"Hah?" Jihan melongo. Enak saja! Chandra yang gagal, Jihan juga yang harus menanggung biaya kegagalan tersebut.

"Peraturan Berdarah yang paling baru; dilarang nanya soal UTBK atau SBM kemarin. Hukuman kalo lo nanya adalah bayarin biaya ujian mandiri kalo kita gagal, atau biaya daftar ulang kalo kita lolos UTBK." Arjuna memberikan informasi.

Jihan mendelik, "sejak kapan ada peraturan itu?!"

"Kemaren," balas Arjuna.

Dari pada kaget karena peraturan baru tersebut, Jihan lebih kaget lagi karena harus menanggung biaya ujian mandiri Chandra padahal barusan ia bertanya kepada Arjuna. Pria berwajah khas Asia Timur itu melirik Chandra yang merangkul Arjuna dengan wajah angkuh, bikin Jihan mendelik lebih jengah lagi.

"Jihan!"

Jihan menoleh ke arah gawai Arjuna, mendapati bahwa percakapan mereka sejak tadi rupanya terdengar oleh Jeno lewat telepon. Kendati setelah itu, sambungan telepon segera diakhiri saat Chandra menekan log merah di layar.

"Ayo masuk, ganteng," kata Chandra.

"Iya, sayang," sahut Jihan. Pria itu merangkul kawan yang sedikit lebih pendek darinya itu lalu melirik si mungil Arjuna. "Dedek mau disayang juga?"

Pria itu menggeleng, memamerkan senyum kecutnya sebelum berjalan lebih dulu meninggalkan Chandra dan Jihan yang saling merangkul.

Euforia yang ada di sekolah terasa begitu membahagiakan saat kaki Jihan kian membawa jiwanya masuk ke dalam. Mayoritas siswa mengenakan pakaian olahraga, ada juga siswa yang memakai celana training dan dipadukan lagi dengan kaus dan ciri khas masing-masing kelas. Jelas, momen berikut diwarnai kebahagiaan karena indra tak lagi menatap buku dan papan.

Jihan menatap punggung Arjuna yang kian menjauh seraya mengeratkan rangkulannya pada Chandra. "Lo bilang apa aja ke mereka?"

"Semua yang gue tau," jawab Chandra. "Ayah lo, penyakit lo."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang