14. Dicintai Atas Nama Kebaikan

328 35 20
                                    

Walau kau tak sanggup
Ku takkan menyerah

Ku ada untukmu
Kapanpun mimpi terasa jauh
Oh ingatlah sesuatu
Kuakan selalu jadi sayap pelindungmu
—TheOvertunes

◀❇❇✳❇❇▶

Jihan bimbang mau bereaksi risau atau terharu. Di depannya, ia bisa melihat Arjuna yang matanya berkaca-kaca sambil menggulung tubuhnya dengan kasa. Sedangkan di sisi lain ada Chandra yang menyandarkan tubuh ke kaki kasur sambil membicarakan banyak hal terkait ikatan Jihan dengan Paguyuban Sahabat Sejati.

Jeno dan Nathan hilang dari pandangan karena mereka ada di dapur membuat enam gelas es cokelat dan matcha hangat, kesukaan Jihan. Allen yang masih di tempat sebelumnya hanya larut dalam pikirannya sendiri sembari memerhatikan Jihan.

"Pantes badannya kayak member kopassus, ternyata jago mukul orang," tukas Chandra. "Dan yang satu lagi kayak gak punya temen buat cerita."

Mungkin, ini adalah bentuk kepedulian teman-temannya yang pada akhirnya membuka paksa pakaian Jihan hingga seluruh lukisan Ayah terlihat di dua belas buah mata. Ketika seluruh jiwa yang ada di sana langsung mematung dan menatap Jihan dengan tatapan meminta penjelasan, kendati anak itu hanya bisa tutup mulut dengan raut mata kelabu.

Yang ia rasakan saat itu bukan hanya panik, atma Jihan bertabrakan lantaran yang satu minta lukanya ditutup sedangkan yang satu lagi meronta mencari belas kasih. Semua anak paguyuban seketika mengambil kotak P3K dan melucuti atasan Jihan.

"Gak jarang gue nemuin tipe orang yang ketika lo udah ngobrol banyak sama dia, belum tentu lo dianggap temen sama dia. Interaksinya sama manusia lain ya sebatas makhluk sosial, aslinya individualis dan susah dimengertinya melebihi orang introvert yang tertutup."

"Angkat keteknya," kata Arjuna pada Jihan yang sedang menengok ke arah Chandra. Jihan langsung angkat tangan membiarkan kasa memeluk tubuhnya lebih jauh lagi.

"Tapi kita gak bisa salahin sifatnya yang kayak begitu. Karena kita gak tau apa yang terjadi di belakang layar, kan?" Chandra yang tadinya mendongak menatap langit-langit atap kemudian menengok ke arah Jihan, tatapan keduanya sempat bertemu beberapa detik sebelumnya akhirnya Jihan mengalihkan pandangan.

Ia menarik napas panjang untuk mengimbuh lagi, "Tipikal orang kayak gitu biasanya cuma butuh kepercayaan yang utuh. Rata-rata udah rusak, mau cari wadah cerita tapi dia susah percaya sama orang lain. Orang yang dia jadikan wadah juga dianggap sebatas tempat curhat, dia tutup ikatan teman diantara mereka pake ego dan cemas."

"Jadi intinya?" Sejak tadi Chandra bicara panjang lebar, Jihan tak kunjung mendapatkan buah percakapan yang matang.

"Lo belum percaya sama kita," jawab Chandra cepat.

"Gue tau kok ada beberapa hal yang terlalu privasi buat diceritain, dan batas privasi setiap orang itu beda-beda. Tapi bukan berarti semua ditanggung sendiri, lo punya mata buat nengok ke setiap arah yang bisa lo tengok. Dan di setiap arah itu, lo gak mungkin nemuin satu sisi yang kosong gak ada orangnya, karena lo dicintai banyak orang atas kebaikan yang pernah lo kasih ke mereka."

Jihan tersenyum manis. Super duper manis, sebab ia sangat senang mendengar hal tersebut dari orang terdekatnya sendiri. Sebagaimana respon seseorang ketika diberi afeksi lewat kata-kata yang hangat, tapi sayangnya Jihan sendiri lupa kalau, "Sayangnya gue buta, Chan."

"Lo gak buta, cuma matanya masih ketutup aja." Chandra menjawab yakin. "Kalo kata orang sih brainwash, lo meyakini apa yang paling sering lo denger dan liat."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang