18. Bahteranya Kemudian Tumbang

312 28 4
                                    

Tiada sesak yang Jihan rasakan kalau bulir-bulir air tidak menggerogoti paru-parunya melalui hidung. Mata Jihan terpejam, tangannya tak bisa berhenti mencari pertolongan. Bibirnya sulit bicara setiap kali kakinya ditarik kuat agar ia tenggelam semakin dalam.

Di atas, anak itu bisa melihat bayangan bahtera yang terbalik kemudian terombang-ambing diguyur ombak. Kilat menyertai penglihatan dari bawah dataran saat badan Jihan rasanya mau hancur setiap detik. Bagai diremat kuat oleh genggaman tangan raksasa, hingga rematan tersebut berubah menjadi remahan yang tidak bisa disatukan lagi.

Siapapun.. Tolong..

"Jihan.."

Jihan mendengar suara lembut Mama di tengah berisiknya rungu. Anak itu mencoba menoleh kemanapun, namun tidak menemukan presensi ibunya ada di sekitar laut yang sama. Sementara air semakin mengikat kakinya agar tidak naik ke permukaan, jantung dan paru-parunya serasa mengempis dibubuhi buih.

Seperti mau mati. Hancur berkeping-keping, kemudian hilang bersama pasir.

Di tengah perasaan gelisah nan pasrah tersebut, Jihan sekonyong-konyong merasakan seekor makhluk mengelilingi tubuhnya yang tenggelam. Badan si makhluk yang panjang memberikan reaksi geli di badan Jihan lantaran ia licin berlendir, mata Jihan jadi semakin terbuka.

Jihan mengamati kepala si makhluk. Bersisik tajam, taringnya besar dan tajam, tatapan matanya pun sengit dan siap membunuh. Makhluk laut tersebut tidak jauh berbeda seperti ular yang akan menirkam kalau perutnya keroncongan. Alih-alih takut dan semakin gelisah, isi batin Jihan justru merasa lebih tenang kala netranya bersibobrok dengan mata ikan tersebut.

"Jihan."

Hidung sang adam serasa ditusuk-tusuk kala mahkluk tersebut langsung membawanya naik secepat kilat ke atas air. Langit begitu gelap, monokrom sangat mendominasi diiringi petir dan bunyinya yang mencekam. Dada Jihan seketika bergerak naik turun, anak itu meraup semua zat asam yang ada tanpa mengetahui bahwa tubuhnya masih dikurung oleh makhluk laut berikut.

Begitu si makhluk mengencangkan lingkarannya, baru Jihan menoleh kepadanya.

Sedetik, dua detik, sampai lima detik, keduanya masih bertatap mata. Tampang ikan yang begitu menyeramkan tidak membuat Jihan urung untuk menatapnya lebih lama lagi, pria itu bergidik sekaligus damai dalam lilitan tersebut.

Sampai tiba dimana raut ikan tersebut berubah jadi raut membunuh pada mangsanya, baru Jihan melotot dan sadar akan satu hal lainnya. Bahwa ia telah masuk ke kandang singa, setelah keluar dari kandang harimau.

RAARGHH

"MAMAA!!"

Byur!

Hidung Jihan seketika perih waktu air menyemprot mukanya tanpa aba-aba. Badannya yang sudah keringat dingin jadi basah sungguhan begitu Mama mengangkat embernya tinggi-tinggi ke arah kasur.

Jihan mengusap hidungnya yang perih kemasukan air. "Mama..."

"DISURUH BANGUN MALAH NGERINGKUK KE SELIMUT, EMANG MINTA BANGET DIGUYUR KAMU TUH!"

Tidak berhenti di sana, Mama langsung menarik selimut Jihan dan memukul kaki Jihan kencang. "BANGUN!"

Selain tenggelam dan dilahap oleh ikan pembunuh, sepertinya Jihan juga bisa mati karena Mama sudah marah-marah pukul lima pagi.

Jihan lebih memilih untuk tengkurap dan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam bantal yang ia sandarkan, hendaknya melamun soal mimpi yang terasa begitu nyata sampai dadanya masih terasa sesak hingga sekarang.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang