39. Rehat

151 13 3
                                    

Serat serat harapan
Masih terjalin suaramu terdengar
Masilahnya rindang bergema
Di ruang-ruang hatimu
Kunto Aji


◀❇❇✳❇❇▶

Menurut Chandra sendiri, sedih itu bukan selalu tentang sesuatu yang dapat membuat kita menangis dan tertatih-tatih. Bisa jadi, sedih datang dalam bentuk kebahagiaan atau keselamatan eksternal.

Sesuatu yang dilihat dari luar penuh karisma, sesuatu yang memboyong kebahagiaan lain ke dunia, sesuatu yang mampu membuat segalanya hancur saat kulitnya dikupas matang-matang.

Baru menemukan Jihan yang selalu berbahagia sedang menangis diam-diam saja sudah menjadi luka dalam bagi seorang Chandra yang memandang kawan dekatnya itu sebagai manusia kuat nan memiliki lambungan kebahagiaan. Tidak pernah terbayangkan baginya, jika ia akan memergoki temannya menangis tersedu-sedu dan mengaku hancur di tengah sesak.

Jihan bilang, dia hancur.

Chandra juga. Chandra sama hancurnya seperti Jihan karena merasa gagal menjadi teman, membiarkan anak itu berdiri sendirian tanpa ia sokong di sisinya. Padahal, sigma itu selalu ada di dekat Chandra dan menikmati tawa bersama. Chandra hancur karena yang berbahagia hanya dirinya.

Dua jam penantian di depan rumah Jihan membuahkan hasil ketika Audi Q3 datang memasuki halaman rumah. Dari balik kaca film agak gelap, Chandra bisa melihat sosok Jihan sedang mengemudi di sana.

Haruskah ia minta maaf saat pria itu menampakkan diri dari mobil? Atau perlukah sebuah pelukan dan pertanyaan bagaimana kabar Jihan dilayangkan?

Telinga yang dilebur ketulian akibat curhatan tajam teman, apakah Chandra harus merelakannya?

Faktanya, ketika Jihan turun dari mobil Chandra malah diam di tempat. Anak itu mengamati Jihan yang berjalan mendekat ke arahnya sambil tersenyum tipis, matanya hampir tertutup sempurna dengan lingkaran gelap di sekitarnya.

"Kok di sini?" tanya Jihan. Bikin Chandra semakin tak berkutik mendengar intonasi dan gerak-gerik santai darinya.

"Mending liat lo nangis kayak kemaren daripada sok tenang begini. Tau nggak?" Kalimat akhir Chandra lebih terdengar seperti paksaan alih-alih pertanyaan.

Jihan mengedikkan bahu. "Gue beneran tenang. Kalo sedih mulu, udah mati dari kemaren gue."

Kemudian si adam memimpin jalan menuju pintu masuk rumah. Chandra ternganga, dipandangnya punggung Jihan yang kian jauh sebelum anak itu mengejar Jihan— hanya untuk menempeleng belakang kepalanya emosi.

"Bangsat!" Jihan tidak terima.

"Lo kayak monyet."

"Monyet ganteng."

"Ganteng kayak monyet."

Sebelum mendorong pintu, Jihan menengok ke arah Chandra dengan tampang bengis. "Lo tuh mau ngapain sih?"

"Jadi temen lo." Chandra menyengir lebar sedangkan pria lain yang ada di sampingnya itu buang muka dan masuk ke rumah.

Chandra ikut masuk ke rumah. Ainnya keliling menyelediki interior rumah mewah yang baru pertama kali ia kunjungi, kaki Chandra setia mengikuti kemana pun Jihan pergi.

"Temanku, Jihan...." Chandra menaiki satu persatu anak tangga. Kini ia berdiri sejajar dengan Jihan yang berusaha menahan senyum, "temanmu, Chandra..."

Teman itu orang yang selalu ada ketika teman lainnya tenggelam. Di bahtera, Jihan rela menguliti tubuhnya sendiri demi mengisi perut ganasnya. Kendati Chandra selaku pengemudi bahtera lain belum tentu tak akan datang memberi bantuan. Entah kepada tangan yang berdarah-darah akibat kulitnya lenyap, atau kepada sang tuan yang mati rasa demi kandasnya lapar.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang