Spin Off; Tentang Hidup, Kesalahan, dan Penyesalan

109 7 4
                                    

Haii, teman-teman! Sedikit menegaskan kalau chapter ini hanyalah Spin-Off, yang artinya tidak memengaruhi alur cerita yang selanjutnya. Seisi bab ini diambil dari sudut pandang mama. Tujuan dibuatnya adalah untuk mempertegas apa yang mama rasakan saat dulu hingga sekarang, sekalian memberitahu lebih rinci apa yang terjadi sama ayah dan mama dulu. Terima kasih. Selamat membaca^^

Disarankan untuk memutar multimedia (Sampai Jadi Debu - Banda Neira) lewat spotify, YTmusic, atau yang lainnya.

◀❇❇✳❇❇▶

Terbukti efektif kalau manusia memiliki banyak kesalahan-kesalahan besar dalam hidup mereka, sampai kalau Tuhan memberikan satu kesempatan untuk mengulang waktu, mereka kelimpungan mau mengulang ke waktu yang mana. Saking banyaknya penyesalan-penyesalan kecil yang bertumpuk, merantai satu sama lain. Ia terikat dalam penyesalan tersebut lalu buntu mencari jalan keluar.

Aku salah satu orang yang turut dalam ikatan buntu itu.

Hidup terlalu pelik untukku yang masih berusia dua puluh tahun. Keluargaku dililit banyak hutang untuk menyekolahkanku sampai perguruan tinggi. Beasiswaku diputus. Aku yang saat itu sudah merantau di Jawa akhirnya pulang ke Muara Teweh setelah satu tahun belajar di universitas di Depok.

Bagiku, mimpi itu segalanya. Mimpi sangat mahal, tidak semua orang bisa bermimpi dan tidak semua orang bisa mengabulkan mimpi. Bagi orang-orang di sekitarku, bermimpi itu sulit karena dihalau tradisi dan ekonomi. Kami tinggal di daerah yang masih dianggap sebelah mata, terpelosok jauh di dalam dan kami tertutup pohon rindang untuk sekadar dilirik pemerintah. Seperti orang hutan.

Aku mencari banyak pelarian di berbagai daerah. Aku menghabiskan waktuku untuk berdagang di kawasan-kawasan luar kota, khususnya Balikpapan. Aku bekerja di banyak tempat dalam sehari. Menjadi pramusaji restoran, bekerja di cabang retail, di tempat karaoke, bahkan menjadi pembantu tukang kue dan roti terlaris di daerahnya.

Kami, perempuan dari daerah pelosok, menegaskan bahwa menghasilkan uang dengan jerih payah sendiri dan tak bergantung dengan laki-laki adalah aib sekaligus kebanggaan. Aku melawan stigma di kampungku dan membungkam mereka dengan uang yang aku dapat. Tidak banyak, sih, tapi cukup untuk menghidupi diriku sendiri dan adikku yang aku sekolahkan.

Sulit sekali.

Semua orang di rumah bergantung padaku. Aku tak bisa berhenti bekerja karena dihantui perasaan bersalah, aku membuang waktu satu tahunku hanya untuk bersekolah dan berakhir gagal karena tidak punya uang. Kalau saja sejak awal aku memutuskan untuk bekerja setelah lulus SMA, aku pasti sudah kaya. Itu penyesalan pertamaku.

Di tahun yang sama dengan aku yang berandai-andai tak memutuskan kuliah dan sudah jadi kaya, aku bertemu dengan banyak sekali orang besar dari pulau Jawa. Rata-rata dari mereka merupakan pemilik usaha minyak dan properti. Kalau tidak untuk membeli tanah berhektar-hektar, ya cari bahan baku bangunan. Ada juga yang cari perempuan keturunan Dayak untuk diperistri.

Penyesalan kedua, aku merupakan perempuan keturunan Dayak yang mencuri perhatian pebisnis muda asal Jakarta. Dia calon satu pebisnis IT paling sukses di Indonesia, pelopor pengusaha-pengusaha lain untuk mengeluarkan produk elektronik cerdas dalam rumah dan kantor. Produk-produknya membuatku berbinar saat ia memberitahu cuplikan idenya yang berhasil terbit. Peringatan, hubungan kami bukan hubungan buruk di awal pertemuan. Aku dan dia hanya sebatas kolega. Aku penjamunya saat dia datang ke restoran tempatku bekerja, dia adalah pelanggan. Tapi banyak sekali peristiwa yang terjadi selama pria itu, Ardian, menginap di Balikpapan selama kurang dari sebulan. Tidak ada yang mengira kalau di lain waktu, aku bertemu dengannya di ruang privat sebuah restoran bar yang memang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang