44. Bergemuruh Menjadi Satu

157 17 5
                                    

Pintu kamar Jihan belum pernah dibuka sejak terakhir kali Mama mengetuknya. Sarapan yang mama letakkan tadi pagi juga belum dijamah siapapun sampai pukul tiga sore saat ini. Semalam juga, saat mama menaruh makan malam, segalanya tetap utuh tanpa disentuh Jihan.

Wanita yang baru saja tiba di rumah itu akhirnya meneruskan langkahnya yang sempat terhenti di tangga menuju kamar Jihan. Mama mengetuk pintu beberapa kali kemudian mendekatkan telinganya ke bilah pintu, "Jihan?"

Tidak ada sahutan. Hanya ada lagu lawas musisi Queen yang terdengar.

"Jihan, makan dulu. Kamu belum makan dari kemaren malam."

Tok.. Tok...

"Jihan."

Nihil. Mama tidak mendapatkan respon yang ia harapkan dari Jihan. Tapi wanita itu tidak menyerah untuk mencari perhatian anaknya yang sudah melewati batas wajar untuk berduka. Mama balik lagi menuruni tangga dan berjalan cepat ke luar rumah.

Sepatunya menapaki rumput basah taman kemudian mendongak. Matahari di pukul tiga sore itu masih sangat menyilaukan mata, mama bertahan diantara cahaya menyilaukan tersebut untuk mengamati balkon kamar Jihan yang tertutup rapat.

Mama lantas mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan mencoba melakukan panggilan telepon pada Jihan. Matanya bertahan diantara intensitas cahaya terang itu, memandang lekat pintu kaca yang terhalang oleh tirai pekat.

Apakah Jihan baik-baik saja?

Mama pikir, tidak seharusnya Jihan mengurung diri di kamar dan mogok makan seharian. Sesedih apapun gagal yang datang, tidak ada yang pantas menyiksa dirinya sendiri dengan tidak membiarkan asupan energi masuk ke tubuh. Jihan bisa dehidrasi dan kelaparan kalau ia terus membiarkannya mengurung diri dan menikmati sedih.

Satu menit berlalu, panggilan telepon juga tidak bisa diharapkan. Akhirnya mama membuka aplikasi berkirim pesan dan menyadari kalau ponsel Jihan sudah tidak aktif sejak kemarin malam. Sekali lagi mama bertanya-tanya, apakah anaknya baik-baik saja di sana?

Mama masuk lagi ke dalam rumah dan menuju ke tempat yang sama; kamar Jihan. Ia masih mencoba untuk mengetuk pintu kamar Jihan dan menelepon Jihan, harap-harap Jihan tahu kalau yang mengetuk di depan adalah mama. Tapi bukannya dijawab, Jihan justru meningkatkan volume lagu sampai terdengar keluar kamar.

"Jihan, kalo sampe nanti malem kamu nggak mau keluar, mama dobrak pintunya, ya. Batas kamu cuma sampe malam ini," seru mama lantang.

"Jihan!" Mama mengetuk pintu lebih keras lagi. "Jihan denger mama, nggak!?"

"Iya, ma."

Suara itu terlampau kecil, tapi mama sungguh bisa memastikan kalau yang menjawab adalah seorang Jihan pun Jihan menjawabnya dengan sadar. Mama terus melirik ke arah hidangan atas nampan yang sudah dingin.

Wanita itu menghela napas panjang dan mengambil nampan tersebut. "Mama ambilin nasi yang baru, langsung makan ya?"

Tidak ada jawaban, tapi mama menganggapnya sebagai iya. Perempuan yang sebentar lagi akan mencapai usia empat puluhan itu akhirnya turun tangga lagi dan bergegas lari ke dapur. Napasnya sudah ngos-ngosan akibat naik turun tangga berulang kali, tapi mama tak peduli. Mama menyiapkan makan siang untuk Jihan dengan nasi dan lauk yang belum sering terkena udara bebas kemudian naik tangga lagi, kakinya sudah lemas.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang