Sejak bertahun-tahun yang lalu, Jihan sudah memikirkan akan dibawa kemana dirinya nanti di masa depan. Saat tuts-tuts piano ditekan dan senar biola digesekan, dua bunyi indah tersebut tentu bertabrakan dengan sesuatu perihal memimpin dan menciptakan penemuan baru.
Berkali-kali Jihan menekankan kalimat jika ia sangat mencintai musik. Bukan tanpa alasan, melainkan nada bisa melantunkan banyak emosi yang berkerumun di dalam hati. Ketika kata tidak bisa mewakili rasa kecuali Jihan mengimprovisasinya dengan serangkaian nada. Siapapun tahu, bahwa musik adalah pelipur lara yang paling sejati.
Orang yang kini telah hilang pernah bicara kepada Jihan, kalau hidup itu tidak bisa berjalan seperti apa yang kita inginkan. Kalah dan mengalah menjadi sesuatu yang lekat, rela dan ikhlas menjadi pelengkap. Ada banyak hal yang harus dilepas jika mau tetap bernapas.
"Pilihannya Milan, London, dan Paris. Tiga-tiganya sama-sama sekolah bisnis."
Makan malam hari ini menjadi makan malam ke sembilan yang formasinya lengkap. Ada Ayah, Mama, Jihan, dan Krisan. Empat kepala tersebut tidak jauh membahas universitas mana yang akan Jihan jejaki tahun depan. Sedangkan di posisi Jihan sendiri, anak itu lebih banyak diam tidak mengisahkan apapun.
Ayah mengamati Jihan yang belum angkat bicara. Hampir sepuluh detik ia menunggu, jawabannya tak kunjung keluar.
"Saya nggak suka orang yang ragu buat milih sesuatu," kata Ayah.
Jihan menatap balik ayahnya. "Di Indonesia aja nggak bisa?"
"Enggak."
"Australia atau Singapore?"
Sama seperti sebelumnya, Ayah masih memasang ekspresi yang sama. Membuat Jihan spontan mendecak malas dan buang muka. Demi Tuhan, ia sama sekali tidak tertarik dengan pilihan-pilihan tersebut. Jihan belum pernah bicara lama dengan Ayah, tapi sekalinya bicara lama harus membahas sesuatu yang tidak ia suka.
"Aku nggak mau jauh-jauh sama Mama." Jihan terus terang sebelum meraih gelas air putih.
"Kamu nggak bakal selalu sama Mama kamu, Jihan."
"Tapi buat sekarang, Mama jauh lebih baik daripada siapapun. Nggak ada salahnya aku mau sama Mama."
Wajah Ayah semakin menegang. Pria yang usianya sudah di kepala lima itu balik menatap istrinya yang duduk di sebelah, mewarnai roman sedih Mama dengan warna kelabu.
"Aku ikut—"
"Kamu di rumah, biar Jihan explore semuanya sendiri." Ayah buru-buru mencela ucapan Mama. Kadang-kadang Ayah heran dengan apa yang terjadi diantara Mama dan Jihan. Lagaknya macam ibu dan anak yang masih terikat tali pusarnya, sampai-sampai harus selalu berdekatan di waktu dewasa sekalipun.
Netra Jihan menggelayuti eksistensi ayah yang beralih mengutak-atik tabletnya. Kemungkinan besar, pria itu masih mencari tahu soal universitas terbaik yang akan ditempuh bungsunya. Ekspresi sengau setia melapisi durja ayah yang mulai ditinggali keriput.
Ibu jari Jihan dikubik oleh jarinya yang lain sementara batinnya menunggu Ayah memberi opsi baru selain tiga kota yang barusan disebutkan. Baik Milan, Paris, atau London tidak berhasil membangunkan gairah Jihan untuk memilih. Tujuannya bukan mengarah ke sana, Jihan ingin menuntun dirinya ke dunia penuh not dan partitur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...