A heart that's full up like a landfill
A job that slowly kills you
Bruises that won't heal
You look so tired, unhappy
—Radiohead◀❇❇✳❇❇▶
Setengah sembilan malam, Chandra memberhentikan Vespa maticnya di depan Ruko Salih begitu melihat Audi Q3 parkir di area carport. Anak itu mendongak ke arah balkon, ruangan atas gelap tak disinari lampu.
Chandra melihat bolak-balik ke arah pintu ruko yang tertutup setengah dan mobil yang ada di area parkir, bingung mau berspekulasi seperti apa. Bukannya Jihan masih di Italia? Tapi kenapa mobilnya ada di sini, Chandra tahu betul kalau mobil tersebut adalah mobil Jihan.
Lelaki berkaki panjang itu menurunkan standar motor kemudian melepas helm. Pasti, ia melangkahkan kakinya ke dalam ruko pelan-pelan. Takut-takut orang yang mengakses ruko tersebut bukanlah Jihan melainkan sosok lain tak diundang.
Dan persis seperti yang Chandra lihat di balkon, intensitas cahaya lantai pertama pun sangat minim. Chandra mendengar suara samar dari ujung ruang, terdengar begitu rancu dan tak berinti. Pria itu lebih dulu menekan saklar lampu sebelum berjalan lebih dalam mencari sumber suara.
Di pertengahan jalan, tangannya mengambil tripod. Langkah kakinya berhenti sesaat lantaran fokusnya teralihkan pada gagahan kamera yang ia butuhkan, hingga suara pintu lemari di area dapur memekak telinga.
Chandra kembali berjalan tanpa suara menghampiri sumber suara. Tripod tersebut ia genggam erat, langkahnya seolah mengambang tak menemukan seinsan pun di dapur. Suara lirih kedengaran semakin jelas, ketara sedih lewat isakannya di sana. Badannya mulai merinding, kendati ia meneruskan perjalanannya sampai tubuhnya hanya butuh selangkah lagi untuk menampakkan diri di balik meja bar.
Tap...
Chandra sampai. Dan tubuhnya kaku melihat seseorang meringkuk dengan punggung berguncang, tangannya memeluk lutut dan menampung wajahnya yang merah. Jihan duduk di sudut ruang sambil menyandarkan tubuhnya di laci dapur. Jihan nampak tidak menyadari kehadiran Chandra makanya setia pada posisi.
"Jihan,"
Sungguh, ia bingung mau seperti apa selain datang menghampiri Jihan yang menangis terisak-isak. Pria itu menangis tanpa suara, tapi pundaknya yang senantiasa berguncang tak bisa membohongi siapapun kalau dirinya ada dalam posisi rapuh. Mendapati sosok terdekatnya menangis diam-diam itu.... Membuat Chandra gelisah.
Dan begitu Jihan mendongak dan menunjukkan wajahnya yang banjir air mata dan matanya yang bengkak, sesuatu di dalamnya diremat habis-habisan.
Chandra segera berlutut di depan Jihan dan menyentuh pundaknya, membuat Jihan kian menangis hingga suara isakannya benar-benar timbul dan menusuk hati Chandra.
"Lo gapapa, Ji?" tanya Chandra pelan.
Chandra tahu kalau Jihan pernah menjadi korban kekerasan fisik ayah kandungnya sendiri. Chandra tahu kalau pria tua itu memaksa Jihan untuk pergi ke Italia dan tes sekolah bisnis, dan Chandra juga tau seberapa kerasnya Jihan berusaha mencintai musik-yang di mata Chandra sendiri, musik memberikan Jihan cinta dan rasa sakit dalam waktu bersamaan. Tapi ini pertama kalinya Chandra lihat Jihan menangis karena luka.
"Gue hancur, Chan..."
Lalu ia kembali mengeluarkan napasnya yang seolah tertahan entah sejak kapan. Dadanya bergerak intens, lelaki itu meremat rambutnya frustrasi. "Gue nggak suka ini. Gue mau berhenti."
"Jihan-"
"Gue menyesal berani, gue menyesal kenal musik. Gue nggak suka sama semua yang ada di diri gue, gue menyesal karena Mama milih buat pertahanin gue daripada bunuh gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...