33. Sedikit Lagi

202 20 3
                                    

Jihan tidak tahu apa saja yang sudah Seth lakukan kepada Ayah sehingga dirinya bisa duduk di ruang presiden direktur perusahaan teknologi informasi yang letaknya ada di lantai teratas sebuah menara pusat kota. Pandangan di depan Jihan hanya kepala-kepala gedung dan awan. Berhubung waktu sudah mendekati senja, banyak serabut oranye melekat bak gulali di lingkar dirgantara.

Sarah tidak lagi mengenakan boomber dan celana bergo-sebagaimana ia berpenampilan di depan Jihan, gadis itu nampak percaya diri dibalut blouse dan rok span sebawah lutut. Tapi yang bikin Jihan lebih tidak menyangka lagi, ada lima tumpuk dokumen yang gadis itu letakkan di atas meja tamu.

Dimana-mana (sekelas film dan series yang latar ceritanya berkaitan erat dengan perusahaan), tamu itu disambut dengan secangkir teh mahal dan senyum terselubungnya seorang direktur. Tapi yang Jihan dapatkan justru berkas-berkas tak dimengerti dan muka datar bapaknya sendiri yang minta ditampar, benar-benar jauh dari ekspetasi yang anak itu bayangkan lewat tayangan yang ia saksikan.

Ayah sedang menjelaskan hal-hal umum terkait berkas-berkas yang Sarah taruh di meja menggunakan bahasa Italia. Tidak terhitung berapa kali Jihan mengerutkan kepalanya lantaran berusaha mencerna omongan ayahnya sendiri. Khawatir apabila ia banyak tidak tahu, terjadi adegan-adegan yang sangat Jihan hindari. Sementara Sarah sudah keluar ruangan sejak lama, entah untuk apa.

Ayah menutup dokumen terakhirnya lalu menatap anak bungsunya yang nampak berpikir keras. "Capisci?" (Ngerti?)

Jihan menggeleng. "Jujurli abdi teu ngartos."

"Bahasanya atau dokumennya?"

"Semuanya."

"Quanto spesso pratichi l'italiano?" Alis Ayah spontan naik satu. Badannya menegap, dipandangnya Jihan dengan tatapan penuh selidik. (Seberapa sering kamu berlatih bahasa Italia?)

"Bercanda, my love." Jihan tersenyum paksa. Kemudian mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut jadi satu sekalian bicara, "Ho capito, Papà." (Aku ngerti, Ayah)

Ayah tidak menjawab apa-apa. Pria paruh baya itu bangkit dan berjalan menuju meja kerja, sehingga punggung tegaknya nyaris menjadi siluet bersama senja.

Tempat ini nyaman, dingin dan harum. Tapi entah kenapa Jihan mau cepat-cepat pulang ke rumah untuk meneruskan belajarnya. Atau jika memang ia terlalu muak dengan ayah, anak itu bisa lari ke piano dekat tangga yang selalu kosong.

Jihan menghela napas panjang mencerna lebih dalam selembaran kertas tersebut. Hal-hal seperti ini semakin dipandangi semakin terlihat kesuramannya, mengamati sesuatu yang tidak Jihan sukai ibarat kelemahan bagi Jihan.

Jihan menaruh lagi kertas-kertas tersebut kemudian berdiri. Pandangan pertamanya tertuju ke arah jendela super besar yang memenuhi sisi, menampakkan penampakan matahari terbenam lewat langit Jakarta. Lantas ketika netranya beralih ke arah satu-satunya meja elok dengan papan nama presiden direktur di sisi depan atasnya, batin Jihan gantian bekerja memprediksi masa depan.

Kalau Jihan berhasil mendapatkan skor bagus UTBK dan lolos SBMPTN, kebebasan akan ia dapatkan. Walau harus kabur-kaburan dari ayah, walau tidak bisa mencicipi kota orang lain karena ada wanita kesayangan yang harus dijaga. Kebebasan bermusik didapatkan, kebebasan bermimpi diraih, serta kebebasan diri maju tiga langkah lebih jauh.

Tapi, kalau ia gagal memperjuangkan apa yang sedang diperjuangkan saat ini, ada banyak sekali jejak jiwa yang tertanam dalam tanah. Jihan pergi ke Milan, belajar tentang tata cara berbisnis layaknya anak-anak pengusaha lain, kemudian pulang ke Indonesia lagi demi melanjutkan perusahaan yang menurutnya bukan hal berharga di hidup.

Makanan sehari-hari itu ayah yang pulang malam, mendekam di ruang kerja, dengan hidangan penutup wajah lelah tak terkira. Jihan juga sudah melihat secara langsung bagaimana ayah sibuk tengak-tengok berkas sekalian membubuhkan tanda tangan di kantor, terus balik menatap layar elektronik, memikirkan strategi jitu agar bisnisnya. Maka dari itu, Jihan semakin mempertegas kalau Jihan tidak menyukai semua makanan sehari-harinya yang satu ini.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang