"Ibu Liona."
Liu Fransisca menyunggingkan senyum saat tubuh wanita yang ia panggil barusan tersentak.
Poliklinik kejiwaan masih sepi, nabastala di luar jendela juga masih agak gelap walau matahari sudah terbit. Dokter bersetelan celana kain dan blouse biru itu mempererat genggamannya pada kertas diagnosis mendapati wajah mama yang pasi.
Liu Fransisca sudah mendengar apa yang terjadi pada Jihan. Tidak lama setelah anak itu dilarikan ke rumah sakit dan ditangani dengan dokter UGD dan melakukan pemeriksaan fisik, ia dihubungi dini hari. Pasiennya dilaporkan masuk rumah sakit setelah overdosis obat anti depresan.
Sekarang sudah pukul tujuh pagi saat mama masuk ke ruangannya, kala poliklinik belum buka dan Liu Fransisca diharuskan datang lebih awal untuk kasus Jihan.
"Silahkan diminum lagi, bu." Liu Fransisca menunjuk gelas air putih yang ada di atas meja. Matanya menyipit di balik kacamata kotaknya. "Saya akan lanjutkan ini setelah anda minum."
Mama tersenyum sumir. Menuruti perintah, ia mengambil gelas itu kemudian meneguknya beberapa kali. Dinginnya ruangan dokter spesialis kejiwaan berikut membuat tenggorokan mama cepat kering, pun setelah ia memuaskan dahaganya dengan air yang suhunya ikutan turun berdasarkan ruang.
Liu Fransisca bilang Jihan sudah melewatkan empat sesi konsultasi terakhir. Satu sesinya habis karena ia pergi ke Italia, satu sesi lagi karena Jihan mendekam di kamar hampir seminggu, dua sesi lainnya entah karena apa. Dengan absennya Jihan di pertemuan berikut, Liu Fransisca membeberkan bahwa keracunan obat memang mungkin terjadi karena Jihan sendiri kehilangan kontrol dari dokternya.
"Gimana kabar Jihan dengan teman-temannya?" tanya Liu Fransisca.
"Baik." Mama mengangguk-anggukan kepala. "Jihan masih berteman sama orang-orang yang memang dekat sama dia. Terakhir kali, ada temennya yang mampir ke rumah walau Jihan nolak buat ketemu. Beberapa kali temennya yang lain datang ke toko saya berjam-jam, entah itu untuk nunggu Jihan datang atau sekadar iseng. Sebelum pulang, mereka selalu nanya kabar Jihan ke saya."
"Lingkungan sekolahnya, gimana?"
"Jihan nggak pernah ceritain hari-harinya di sekolah sejak empat tahun lalu. Tapi dia bisa bersosialisasi dengan baik, nggak ada yang tau latar belakangnya juga karena saya simpan rapi, wajarnya lingkungan sekolah dia pun baik sama dia."
Hipotesisnya, Jihan keracunan obat karena kecewa berlarut-larut atas nasibnya. Apa yang dia kejar gagal didapatkan, tapi apa yang dia hindari justru memeluknya tanpa ruang. Itu tentu jauh dari dugaan orang-orang yang ada di pihak Jihan, terlebih Jihan sudah melakukan yang terbaik untuk bisa masuk ke perguruan tinggi dalam negeri.
Liu Fransisca diam-diam menghela napas tanpa mengalihkan pandangan dari kertas yang ada di genggamannya. Jemari kakinya tak bisa diam, meremat lalu merenggang dalam sepatu.
"Nanti saya akan datang ke kamarnya Jihan untuk cari tau lebih.." Wanita itu mengulum bibirnya sebentar. ".. Untuk menentukan terapi selama dia dirawat di poli jiwa."
Alis mama mengerut. "Dirawat di poli jiwa?"
Liu Fransisca mengangguk. "Saya ingin Jihan ada di bawah pengawasan. Ibu sanggup?"
Lenggang. Tidak ada sahutan.
"Saya tau ini berat, tapi saya butuh dukungan dari bu Liona selaku walinya. Jihan ada di kondisi krisis, saya menganalisanya dari lama. Kalau terapi biasa aja suka dia lewatkan, mau nggak mau harus di sini untuk perawatan maksimal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome
Teen Fiction❝There is only one thing that makes a dream impossible to achieve: the fear of failure.❞ -Paulo Coelho Kata mereka, masa remaja adalah masa dimana puan mengalami proses panjang agar menjadi kesatuan yang lebih utuh lagi. Tapi bagi Jihan, masa remaja...