45. Puncak Ketegangan Masalah

165 19 4
                                    

At least, at that moment, everyone looked at me and then cried
Our Poor Boy

*disarankan untuk memutar media secara berulang selagi membaca

◀❇❇✳❇❇▶

Mungkin bagi mama, Jihan itu nomor satu. Mama menjual banyak hal dalam hidupnya demi Jihan. Hanya kepadanya, mama mempersembahkan seluruh kebahagiaan yang masih bisa ia tangkup meski telapak tangannya berdarah-darah. Setelah meninggalkan dan ditinggalkan, Jihan senantiasa berada di sampingnya.

Mama ingat sekali. Dulu kala, Jihan pernah menemukan mama menangis terisak-isak. Mama menahan suaranya agar tak mengudara dan tak mengganggu anak-anak di rumah, tapi tak mama sangka kalau kondisinya sudah jauh lebih memprihatinkan untuk berpura-pura sejahtera. Kala itu, Jihan yang mengusap pipi mama dan meminta mama berhenti menangis. Mama menjadi anak kecil yang justru menderaskan air mata saat ingin berusai. Jihan memeluk mama, Jihan mengecup pipi mama, Jihan juga ikut menangis bersama mama.

Jihan masih kecil.

Jihan masih terlalu kecil untuk menghadapi situasi dimana ia menyaksikan ibunya luluh lantak di kaki ayahnya. Jihan terlalu muda untuk digeruk kewarasannya. Jihan belum pantas mendapatkan kekerasan. Jihan berhak menjadi manusia seutuhnya yang bebas bermimpi dan melakukan banyak hal. Sesuai arti namanya, kekekalan bebas.

Suara Queen terdengar semakin keras saat mama naik ke atas. Saat mama menengok, mama melihat pintu kamar Jihan sedikit terbuka. Wanita itu melirik ke jam raksasa yang ada di sisi ruangan, tepatnya saat denting berbunyi nyaring memberi penanda pergantian jam. Geser sedikit dari jam, ada nampan berisi makanan sisa.

Bukan kah sudah sangat berlebihan larut dalam kesedihan untuk ketujuh harinya, hanya karena gagal lolos SBMPTN?

Mama mengerti Jihan sangat mengagungkan mimpinya untuk menjadi mahasiswa UNJ itu dan membuktikan kepada ayahnya kalau ia memang pantas dan memiliki kecerdasan musikal, tapi UNJ bukan satu-satunya jalan. Mama pikir, Jihan terlalu putus asa karena satu dan lain hal yang tidak ia ketahui.

Mama berjalan ke arah kamar Jihan kemudian mengetuk pintunya tiga kali. "Jihan, mama masuk ya."

Mama.. Ooh..
Didn't mean to make you cry
if I'm not back again this time tomorrow
carry on.. carry on..

Mama mendorong pintu dan masuk ke dalam kamar. Kosong. Ia hanya menemukan piringan hitam berputar di sudut kamar dan mendendangkan lagu Bohemian Rhapsody. Hal yang pertama kali mama pikirkan saat melihat situasi kamar adalah berantakan dan bau khas tubuh Jihan. Ruangan sudah terlalu lama diisolasi oleh satu pria yang sedang depresi.

"Jihan?"

Mama meneruskan langkahnya ke kamar mandi. Baru satu langkah disertai memutar tubuh ke kanan, napas mama duluan tercekat melihat putranya sudah terkapar di lantai dengan kondisi tak layak. Wajah Jihan merah berkeringat, mulutnya terbuka mengeluarkan sedikit liur berbusa dan napasnya sangat cepat, matanya melebar melihat presensi mama.

"JIHAN!" Mama lari dan melongsorkan badan. Ia mengambil kepala Jihan untuk disandarkan ke pahanya kemudian menepuk-nepuk pipi Jihan. "Jihan, denger mama?"

"Ma..." Suara Jihan terlalu lemas. Nyaris tidak ada. "Sakit.."

Air mata Jihan lolos, pria itu masih menatap wajah ibunya yang sibuk memeriksa suhu tubuh. Ia mengusap kepala Jihan. "Kita ke rumah sakit ya, Jihan. Sekarang, ya."

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang