09. Invasi Cemas

443 41 35
                                    

Semoga lama hidupmu di sini
Melihatku berjuang sampai akhir
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu
-Nadin Amizah

◀❇❇✳❇❇▶

Bulan Agustus tahun lalu, sebuah toko pastry-Mèmoire Path- resmi buka di salah satu Ruko Plaza 5, Pondok Indah. Toko berikut mengusung konsep retro era delapan puluhan. Ada banyak pajangan dindingnya yang berkaitan dengan tahun berikut, diliputi paduan warna yang menonjol serta eksotis. Baik itu pemutar kaset delapan track, gadis hula, earth shoes, seni dari benang, juga figur tokoh Starwars yang sempat diincar banyak orang saat awal rilis.

Jihan sendiri sama sekali tidak tahu mengapa Mama memilih konsep retro alih-alih konsep ala benua biru seperti galibnya. Namun, nuansa retro berhasil menarik perhatian generasi Z yang suka sesuatu terkait masa lampau. Toko pastry yang menyediakan opsi makan di tempat ini tidak pernah sepi pengunjung setiap harinya. Selain karena harganya yang ramah di kantung, ada banyak titik-titik tertentu yang layak dijadikan latar foto.

Lantunan lagu The Beatles bersetuju ke indra pendengaran begitu Jihan masuk ke dalam toko. Seperti biasa, beberapa bagian seragamnya sudah lunyai dijamah kotoran halus, tas sekolah digendong asal sementara almamater disampir ke lengan kiri. Wajah Jihan yang tadinya lesu mendadak sumringah kala menemukan wanita bersetelan pinafor kelabu duduk di sudut ruang.

"Mama!" Jihan sedikit berteriak.

Sungguh-sungguh seperti kalangan muda. Setelannya cerah dan punya kesan anak sekolahan, rambut ikal panjangnya dikuncir kuda, serta tata rias wajahnya tak terlalu menonjol dan terlihat natural.

Secara sporadis, Jihan merasa kalau ia itu amat mencintai Mama lebih dari dirinya sendiri. Persetan dengan segala kenakalannya dan omelan-omelan layaknya ayam berkokok di malam hari, Mama benar-benar sesuatu yang berharga dalam hidup Jihan.

"Maaaa lapeeerr." Jihan berjalan ke arah ibunya sembari mengusap perut. Matanya semakin berbinar saat melihat sepiring croffle utuh di atas meja.

Mama melirik Jihan lebih dulu sebelum menyodorkan croffle berikut ke arah si buah hati. Wanita itu mengambil kopi gelas instan yang ada di meja lalu diseruput.

"Punya siapa ini?" Jihan mencomot croffle tersebut lalu menutulkannya ke saus cokelat. Tidak perlu menunggu lama untuk meresap rasa renyah sekaligus lembutnya yang khas, manis pun menjadi pelengkap indra perasa makanya ekspresi wajah Jihan berubah.

"Punya Mama." Mama menjawab sekenanya. "Makan aja, Mama udah kenyang."

"Emang makan apa?"

"Croissant."

Jihan mengangguk paham, lanjut menggiling adonan pastri tersebut tanpa mengeluarkan suara. Saat itu, Jihan hanya fokus dengan makanan dan lagu The Beatles yang mengalun kecil.

Sementara oknum yang ada di depan Jihan menyandarkan tubuh sembari menatap ke arahnya lamat. Diterkam lekat-lekat, diperhatikan segala hal yang masih mampu dipandang selagi anaknya makan dengan lahap.

Nafsu makan Jihan nampak normal sore itu, proporsi tubuhnya pun akan jadi lebih ideal kalau Jihan makan lebih banyak. Selain itu, anak Mama yang satu ini juga sering menebar senyum. Wanita itu mengunci mulut selagi netranya tak lepas memerhatikan sang anak.

"Kalo masih laper, beli nasi padang yang deket rumah aja ya, Jihan."

Ada kalanya, Mama sering kali mengasihani nasib Jihan dan dirinya yang repetitif buruk alih-alih baik. Tekanan keluarganya benar-benar tidak sehat, Mama bahkan sempat meragukan stabilitas mental Jihan yang cenderung menyembunyikan sesuatu di dalam sana. Goresan-goresan luka di tangan, atau kotak susu basi yang terkadang masih ada di tempat sampah kamar. Jihan belum berhenti menyakiti dirinya sendiri setelah ia menganjurkan Jihan untuk konsultasi ke psikiater.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang