27. Tanpa Ujung

224 28 0
                                    

"Berkali-kali saya peringatkan kamu, tapi kamu masih aja susah diatur."

"Bocah nggak punya otak! Setelah saya utus Sarah buat jaga kamu pun, kamu masih melakukan pelanggaran."

"Kamu absen berkali-kali dari tempat les, kamu masih ikut balap liar, dan yang terakhir- pergi bolos seharian penuh cuma buat main sama temen-temen kamu yang badung itu?!"

Dengan posisi kaki yang dinaikkan ke paha lainnya, Seth menggerakan ujung kaki kanannya sambil menatap amplop resmi lembaga kursus yang ada di meja. Batinnya kosong tak memikirkan hal penting kendati orang di depannya sedang diradang emosi, Seth serta merta menyimak apa saja yang akan dibicarakan ayahnya tentang kelakuan Jihan.

Mata sipit Seth melirik ke arah jam yang ada di dinding. Sudah pukul delapan malam, tapi ia masih mengenakan seragam sekolah Binar Raya. Artinya, Jihan juga baru tiba di rumah saat gelap sudah menjajah.

Sarah membuka pintu ruang kerja ayah sembari membawa beberapa lembar kertas. Berbeda dari yang tadi pagi, setelan yang kali ini Sarah kenakan jauh lebih formal dengan kemeja dan celana merah muda.

"Permisi, pak." Gadis itu menundukkan kepalanya sesaat. Sarah mengulurkan map yang ada di tangannya ke arah Ayah. "Ini laporan terkait rutinitas Jihan sebulan belakangan."

"Dari pantauan CCTV kamar, Jihan rutin belajar dari jam sembilan sampai jam sebelas malam. Saya juga sudah periksa beberapa tempat di kamar Jihan dan saya menemukan beberapa catatan yang saya pikir ini di luar materi sekolah. Ada buku catatan yang isinya full lirik lagu dan partitur nada, sketch book gambar abstrak, dan buku persiapan SBMPTN soshum."

Seth menyengir, "Yah.. Ketauan.."

Celetukan bernada kecewa tersebut sontak menarik perhatian Sarah dan Ayah untuk menengok. Keduanya memandang Seth dengan tatapan datar sementara Seth masih mempertahankan posisi tidak sopannya.

Seth pikir Sarah bukan jongos yang berprinsip hidup untuk majikan. Dari wajahnya, gadis itu nampak seperti bocah kemarin sore yang belum punya pengalaman kerja apa-apa. Tipikal mantan aktivis yang turut membela hak asasi manusia, keadilan sosial, serta anti kekerasan. Sarah juga sering cengar-cengir di depan Jihan meski pada kenyataannya, Seth selalu menemukan elang di tatapan Sarah.

Ya... Harusnya Seth tak perlu heran. Sarah bekerja di bawah naungan perusahaan Ayah untuk menjaga bocah badung demi meneruskan perusahaan, wanita itu tentu punya gambaran bagaimana kerasnya Ayah kepada Jihan. Kalau memang tidak satu frekuensi, Sarah tidak mungkin memijakkan kakinya di ruang kerja Ayah malam ini.

Sarah berdeham singkat dan kembali menghadap ke arah Ayah. "Ada dua laci lagi yang belum bisa saya periksa. Kemungkinan besar di salah satu lacinya ada porto-"

"Portofolio aku di buku catatan yang kamu temuin." Seth memotong ucapan Sarah. "Bentuk portofolio yang bakal aku ajuin itu lagu, lusa udah mau rekaman."

Satu-satunya wanita di ruangan itu mengerjap tak percaya. Ini Jihan serius bodoh atau bagaimana, kok mulutnya sendiri yang membeberkan rahasia besar dan menantang maut. Sarah mengamati bosnya yang sekadar buang napas panjang, diperhatikannya wajah tampan Ayah secara seksama.

"Sejauh ini baru itu yang saya temukan, pak," ucap Sarah sambil tersenyum tipis. "Udah ya, saya mau pulang. Capek jagain reog."

Tuh kan, apa yang Seth bilang tak sepenuhnya salah, anak itu berhasil dibuat takjub meski sembunyi-sembunyi. Sarah yang tadinya serius berubah seratus delapan puluh derajat ketika Ayah mau tidak mau mengiyakan permintaan Sarah agar pulang.

Cengiran konyol khas Sarah terlihat, ia menoleh ke arah Seth yang duduk di sofa sembari menjulurkan lidahnya memasang tampang meledek. Sayangnya Seth tidak bereaksi lebih intens selain mengacungkan jari tengahnya sebagai balasan.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang