17. Psike Traumatis

331 31 24
                                    

Jakarta, 2017

"Kalau nanti kamu gak bisa dapat apa yang kamu mau, ikhlasin aja ya."

Jihan menengok sekilas saat suara Dimas terdengar rapuh. Tangan pria itu masih aktif mengaduk gula pasir yang belum larut bersama es teh yang dipesan, Jihan yang mulanya tidak mendengar apapun cukup bingung saat Dimas buka suara tanpa aba-aba.

"Abang kenapa?" tanya Jihan. "Ada masalah?"

Dimas menyengir. "Nggak ada. Cuma ya... Apa yang abang bilang itu gak salah kan?"

Saat itu, lembayung senja menerpa punggung Dimas dan Jihan yang tengah duduk berdua di sebuah warung kopi langganan jalan Simatupang. Seperti biasa, saat Krisan menghilang entah kemana dan sibuk dengan sekolahnya, Dimas akan mangayuh sepedanya membawa Jihan pergi ke tempat yang jauh.

"Kita kan makhluk sosial, semua yang kita rencanakan gak harus selalu berjalan sempurna karena kita punya orang lain. Kita juga gak bisa prediksi masa depan."

Jihan tak lekas menjawab kata-kata tersebut lantaran berpikir. Sejenak, ia teringat dengan latar belakang Dimas yang bukan berasal dari keluarga berada. Pria itu merupakan pemimpi ulung yang cerdas dan bijak, Dimas teguh pada pendiriannya dan selalu yakin akan jalan yang ia tempuh. Apabila Jihan menyimpulkan kalau Dimas sedang patah semangat, mungkin pantas ia mengatakan hal seperti saat ini.

Untuk hidup seperti apa yang dimau, dunia akan meminta uang sebagai alat tukar. Dimas dan kakaknya sudah bekerja sejak usia remaja setelah keduanya datang ke Jakarta sebagai makhluk antah-berantah, pria itu mengaku bahwa dirinya berasal dari panti asuhan yang buruk kemudian kabur ke segala tempat. Mengantar koran dan bunga, mencuci piring di warung makan, dan menjadi pelayan kafe yang ramai.

Dimas telah berusaha menggapai banyak hal tanpa bantuan siapa-siapa.

Jihan mendaratkan tangannya ke punggung Dimas lalu mengusap punggung lebar itu dengan baluran hangat. "Semangat, bang. Pasti lo bisa dapetin apa yang lo mau."

"Lah?!" Dimas malah heran. "Gue lagi ngasih tau ke lo, dodol! Kenapa jadi gue yang disemangatin?"

"Soalnya lo miskin."

Andai saja Dimas punya kekuatan seperti Saitama atau Altair, sudah pasti Jihan habis detik ini juga. Apa yang anak itu bilang memang benar, tapi Dimas tidak pernah lupa dibuat sewot setiap kali duduk berdua dengannya.

Gantian Dimas yang meletakkan tangannya di pundak Jihan. "Nanti di masa depan, kamu pasti tau maksud dari apa yang abang bilang hari ini. Dikelilingi sama orang jahat dan manipulatif itu gak enak, kamu keren masih bisa ceria walau tinggal di tempat yang kurang bagus. Entah itu cuma pura-pura atau kamu beneran bahagia, abang berharap yang terbaik buat kamu."

"Ya.. Ya... Ya..." Jihan hafal sekali dengan tutur kata Dimas yang selalu bijak dan terkesan memiliki makna. Anak itu suka, tapi ia juga muak karena selalu mendengarnya.

"Jihan."

"Kenapa?" balasnya saat Dimas memanggil. Jihan menoleh, hanya untuk menemukan durja tenang Dimas sedang memperlihatkan senyum tipis yang sukar diterka maksudnya.

"Kalo emang kamu bakal disuruh milih, pilih yang menurut kamu paling baik."

Kalau ada yang berekspetasi sama kamu, biar mereka tanggung apa yang mereka buat sendiri. Ekspetasi orang lain bukan tanggung jawab kamu.

MonochromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang