Aster telah sampai pada satu keputusan yang telah ia pikirkan baik-baik dari semalam sampai tak sempat untuk tidur. Rencananya untuk beristirahat dengan sumpeknya pikiran, tak terlaksanakan karena rasa kantuk yang hilang bagai ditelan bumi. Wajahnya yang lesu dan sayu tergantikan dengan wajah cerah dan segar setelah mandi.
Lelaki berkarismatik dengan pesonanya yang tak pernah habis itu berdiri di depan cermin seraya mengancingkan satu persatu kancing kemeja putihnya. Kemudian, ia menyemprotkan parfume di beberapa bagian tubuhnya. Tak lupa ia memakai jas hitamnya. Aster sengaja tak memakai dasi agar tidak terlalu formal. Takutnya Aster semakin mempesona. Jadi, ia biarkan satu kancing di kerah kemejanya terbuka.
Aster harus memastikan Rianti lewat tampilannya bahwa ia akan menjemput calon istrinya. Yap, Aster berniat melamar Sisil. Dia berniat membantu perempuan itu. 100 hari bukanlah hal yang sulit. Dalam waktu selama itu, Aster akan berusaha mencari istri yang cocok untuknya. Tak sulit pula mencari alasan bercerai nantinya.
Hal itu juga menguntungkan untuknya. Rianti tidak akan mengoceh lagi minta cucu. Setelah ia menikah, secara tidak langsung Aster akan diizinkan untuk minggat dari rumah. Masa iya sudah menikah Aster masih tinggal dengan orang tua? Malu 'lah sama umur dan profesi.
"Wihhh, anak Mami ganteng banget? Mau kemana?" tanya Rianti saat melihat kedatangan anaknya di ruang makan.
"Mau kerja, sekalian mampir ketemu calon istri," jawab Aster setelah duduk di depan Rianti.
Rianti yang mendengar jawaban itu senang bukan main. "Masa iya? Sekarang kamu beneran mau bawa calon ke rumah? Dia siapa? Kerjaannya apa? Orang tuanya kerja apa? Atau marga keluarganya apa? Siapa tau Mami sama Papi kenal."
Aster memandang lurus Rianti dengan tatapan lesu dan helaan napas lelah. Boro-boro tahu seluk-beluknya, orang Aster baru kenal Sisil kemarin malam.
"Mami bisa simpan pertanyaan itu setelah ketemu dia, 'kan? Tapi Mami harus janji dulu, jangan terus-terusan minta cucu lagi setelah Aster menikah nanti. Janji?"
Rianti mengangguk antusias. "Mami gak janji. Tapi Mami seneng banget akhirnya kamu mau bawa calon juga ke rumah. Siapa namanya, sayang? Mami pengen tahu dong!"
"Nanti, Miiiii...." Aster berusaha untuk lembut pada Rianti.
"Dia lulusan apa? S1? S2? Atau dia juga dokter kayak kamu?"
Lagi-lagi, Aster menghela napas. Saat ia hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, Rianti malah terus bertanya. Akhirnya, nasi itu belum juga masuk ke mulut.
"Sudah, Mi. Biarkan Aster makan dulu. Dia harus mengisi perutnya," ujar Wira yang menengahi.
Aster tersenyum kagum pada Ayahnya. Tumben sekali Wira ada di pihaknya. "Papi makin hari makin ganteng ya?" pujinya.
"Mau apa kamu?" tanya Wira tiba-tiba seakan tahu arti pujian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wife For Aster
General Fiction𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 genre : romantis, melodrama *** Di usianya yang nyaris kepala tiga, Aster tak kunjung memiliki tambatan hati. Masalah asmara di masalalu yang cukup sulit membuat Aster enggan membangun...