Enam bulan berlalu. Dan itu tidak cukup mudah dijalani oleh Aster dan Sisil. Apalagi kini mereka bukan hanya sebagai sepasang suami istri, mereka juga berperan sebagai orang tua, yang harus merawat dan menjaga Alby.
Bayinya itu tumbuh dengan baik meskipun terkadang kedua orang tuanya kesusahan merawat tanpa bantuan babysitter atau sejenisnya. Sejak Sisil pulih dan bisa kembali beraktifitas seperti biasa, Sisil memutuskan untuk merawat Alby tanpa campur tangan siapapun kecuali Aster.
Selama enam bulan yang mereka lewati adalah sebuah tantangan baru. Dari mulai kurangnya tidur di malam hari lantaran harus terjaga dan berusaha membuat Alby kembali tidur. Sayang sekali, Alby sangat sulit sekali untuk tidur jika tidak di gendong dan diayun-ayun.
Tak jarang juga Alby rewel, terus-terusan menangis, dan selalu membuat Sisil panik. Namun, Aster selalu ada, ia selalu menemaninya dengan segala ilmu yang diperoleh untuk menjadi seorang ayah dan suami yang baik. Aster bukanlah orang yang sempurna, meskipun jabatan dan ketampanannya tak perlu diragukan, ia tetap harus belajar untuk segala apa yang dibutuhkan keluarga kecilnya. Aster suami yang siap siaga, Sisil merasa beruntung. Ia tak perlu mengkhawatirkan apapun lagi selagi ada Aster di sampingnya.
Bukan hanya itu, Aster selalu memberikan Sisil dukungan batin agar istrinya itu tidak mengalami baby blues. Kelekatan mereka tak terhalangi dengan adanya Alby, mereka malah semakin lengket. Bahkan Aster seringkali mager untuk pergi bekerja lantaran tak sanggup menahan rindu pada putera dan istrinya.
Di malam yang senyap dan temaram, suara tangisan bayi, yang telah menjadi rutinitas, terdengar dari kamar sebelah. Alby menangis lagi di ranjang bayinya. Sedangkan Sisil yang tengah tertidur lelap di samping Aster merasa terganggu.
"Pak Suami! ...," erang Sisil. Ia bahkan tak bisa membuka matanya barang sedikit pun.
Aster tak kunjung juga merespon ketika tangis Alby semakin kencang. Lantas, Sisil menepuk-nepuk dada bidang suaminya. "Pak Suamiii ...."
"Eunghh!" Aster menggeliat dengan mata yang berat. Baru setengah jam memejamkan mata, Aster harus kembali terjaga. "Kenapa, sayang?" Terdengar suara rendahnya.
"Alby ... Nangis, tolong samperin. Tadi udah dikasih ASI kok. Sisil ngantuk banget," kicau Sisil. Bibirnya komat-kamit nyaris tidak jelas.
Namun, Aster langsung sadar akan tangis Alby yang memekakkan telinganya. Aster lekas beranjak dan menghampiri kamar Alby yang lumayan luas. Baru setengah jam yang lalu Alby diberi ASI, tapi Alby malah nangis lagi bukannya tidur.
Aster menggendong Alby dengan kepala mungil bersandar dipundak lebarnya. Sebelah pipi gembulnya makin mengembang karena tertekan. Alby seolah nyaman dalam pelukan ayahnya. Sebab, tangisnya mereda begitu cepat, dan matanya kembali terpejam dengan tenang. Barulah Aster bisa bernafas dengan lega.
Baru saja Aster menidurkan Alby, bayi yang sudah bisa guling-guling itu kembali mengeluarkan tangisnya. Alby seolah tahu bagaimana rasanya berada di pelukan sang ayah dan berada di ranjangnya. Aster meloloskan embusan nafas panjang. Lalu, menggendong Alby lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wife For Aster
General Fiction𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 genre : romantis, melodrama *** Di usianya yang nyaris kepala tiga, Aster tak kunjung memiliki tambatan hati. Masalah asmara di masalalu yang cukup sulit membuat Aster enggan membangun...