Berjam-jam sudah lamanya Aster menunggu, nyaris putus asa.
Operasi dimulai saat pukul tiga pagi. Tetapi, ketika jarum jam sudah menunjuk pada angka 12, salah satu dokter di ruang operasi belum menampakan dirinya. Yang seharusnya operasi selesai kurang lebih 6 jam itu, rupanya telah menghabiskan waktu yang sangat lama. Sembilan jam.
Aster sempat bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi di dalam sana, sehingga waktu terkikis begitu banyak? Aster hanya sesekali meninggalkan ruang tunggu, itu pun sekedar ke toilet, setelahnya Aster tak membiarkan waktu durasi yang menyala pada dinding itu berjalan tanpa atensinya.
Jika saja Darren tak membawakannya sarapan pagi tadi, mungkin Aster sudah mati kelaparan karena dari kemarin ia tak makan sama sekali. Pula, jika saja Darren tak cerewet menyuruhnya menghabiskan sarapan, mungkin Aster akan tetap abai pada perutnya.
Darren paham, di saat seperti ini memangnya siapa yang akan memiliki nafsu untuk makan? Tentu saja tidak ada. Akan tetapi, perut Aster harus terisi dengan makanan yang layak supaya bisa bertahan hidup dalam goncangan hatinya. Makanya Darren cerewet, ia takut abang sepupunya itu jatuh sakit karena telat makan.
"Transplantasi jantung di rumah sakit ini mungkin masih terbilang oleh jari, Ter. Tapi lo harus yakin, dokter yang menangani Sisil sekarang bukan dokter kemarin sore, mereka semua para ahli. Om Wira yang mengerahkan dokter terbaik untuk Sisil. Jadi lo jangan khawatir." Darren berkata di tengah-tengah kegiatan makan siangnya. Untuk kedua kalinya Darren mengantarkan makanan untuk Aster hari ini. Tak sampai disitu, perkataannya kembali berlanjut. "Jangan sampai lo jadi kurus kering pas ketemu Sisil nanti. Ayo, cepet diabisin makanannya!"
"Apa Sisil bisa bertahan?" cetus Aster, hanya memandangi makanannya.
Darren berhenti dengan suapannya sendiri. Kemudian, embusan napas panjang lolos dengan bebas. Sungguh, Darren sangat tidak tega melihat bagaimana ekspresi suram sepupunya itu. Sulit sekali diberi keyakinan dan dukungan bahwasanya Sisil akan baik-baik saja.
"Cukup! Jangan menambah beban pikiran dengan mempertanyakan hal itu di kepala lo, Ter!" Darren menjeda perkataannya sebentar. "Tuhan punya rencana. Lo harus percaya rencana Tuhan itu akan selalu baik. Lo jangan pesimis gini dong!"
Aster sudah menarik napasnya, hendak mengatakan sesuatu --yang Darren yakini kalimat dari mulutnya itu adalah keputusasaan semata. Lantas, Darren langsung menyela dengan tangan yang terangkat, melarang Aster berbicara.
"Kita sama-sama berdoa. Kita sama-sama yakin kalo Sisil bisa bertahan di dalam sana. Kalo lo gak mau yakin, gak usah! Mendingan terus aja larut dalam penyesalan lo yang gak ada gunanya itu!"
Perkataan Darren memang terkesan pedas dan jahat. Namun, Aster tak bisa marah pada sepupunya itu, karena yang sangat berhak ia marahi adalah dirinya sendiri. Aster mengembuskan napasnya dalam satu tarikan sebelum menyantap kembali makanan yang terasa hambar di lidahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wife For Aster
General Fiction𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚 genre : romantis, melodrama *** Di usianya yang nyaris kepala tiga, Aster tak kunjung memiliki tambatan hati. Masalah asmara di masalalu yang cukup sulit membuat Aster enggan membangun...